IBNU KHALDUN DAN KALIGRAFI ARAB
Oleh: Iman Saiful Mu’minin, S.Pd.I*
Bagi para pemerhati sosial dan sejarawan, nama kitab Muqaddimah karya Ibnu Khaldun sudah tidak asing lagi ditelinga mereka. Kitab ini merupakan produk pemikirannya berupa kumpulan kajian-kajian tentang kemasyarakatan, kenegaraan serta filsafat sejarah yang diberinya nama agak panjang, Kitab al-‘Ibar wa Diwan al-Mubtada wa al-Khabar fi Ayyam
al-Arab wa al-Ajam wa al-Barbar wa man ‘Asharahum min Dzawi al-Sulthan al-Akbar. Mungkin karena panjangnya kitan ini atau karena jilid pertamanya berjudul Muqaddimah, lalu orang menyebutnya Muqaddimah Ibnu Khaldun.
al-Arab wa al-Ajam wa al-Barbar wa man ‘Asharahum min Dzawi al-Sulthan al-Akbar. Mungkin karena panjangnya kitan ini atau karena jilid pertamanya berjudul Muqaddimah, lalu orang menyebutnya Muqaddimah Ibnu Khaldun.
Buku ini diakui sebagai karya monumental dan cukup unggul dalam deretan karya para pemikir muslim dan Barat dalam bidang kajian sosiologi. Untuk itu Ibnu Khaldun dikenal sebagai Bapak Sosiologi dan Sejarawan Muslim. Selain kitab Muqaddimah, Ibnu Khaldun juga menulis sejumlah kitab terkenal, yaitu at-Ta’rif bi Ibni Khaldun, sebuah autobiografinya catatan dari sejarahnya.
Pemikiran Ibnu Khaldun tentang sosiologi dan politik tidak saja menjadi bahan kajian para pemikir dan cendekiawan Muslim di Timur, tetapi di dunia Barat pun pemikiran tersebut masih senantiasa digulirkan dalam wacana percaturan sosial politik kontemporer. Hal demikian tidaklah aneh, mengingat pemikiran dan sepakterjang Ibnu Khladun diakui oleh para ulama sezaman dan sesudahnya.
Kaligrafi Di Kota
Tulisan-tulisan yang ada dalam kitab karyanya, termasuk Muqaddimah, mengungkapkan permasalahan yang masih aktual. Di antaranya mengenai kaligrafi Arab (khat). Ibnu Khaldun menyatakan, bahwa khat atau tulisan merupakan bagian dari keterampilan manusia yang dapat membedakannya dari hewan.
Oleh karena ia bagian dari keterampilan maka untuk memperolehnya adalah harus ditunjang oleh pembelajaran (ta’alum), adanya sarana perkumpulan atau organisasi (semacam sanggar), modern dan berkomunitas di kota besar. Sebab kota menurutnya terdapat sejumlah sarana keterampilan lain yang menunjang berkembang pesatnya kaligrafi Arab, seperti ketersediaan peralatan yang komplit dan modern. Maka, Ibnu Khaldun menyimpulkan bahwa kebanyakan orang pelosok, pedalaman atau kampung masih minim dalam hal keahlian menulis dan membaca dengan baik. Mereka belajar menulis menggunakan peralatan seadanya, dan hal ini yang menjadikan mereka tertinggal dari teman-temannya yang berdomisili di kota. Ibnu Khaldun juga menyimpulkan bahwa pengajaran kaligrafi Arab yang berada di kota-kota besar yang berkembang pesat sejumlah sarananya, itu lebih mudah diterapkan metode dalam pembelajarannya. Beliau mencontohkan negara mesir, terutama ibu kotanya, Kairo. Di sana para pengajarnya sangat berkompetensi dan mumpuni dalam menguasai bidang kaidah dan hal-hal yang berkenaan dengan kaligrafi.
Tidak dinyana, di kota-kota besar lahir sejumlah kaligrafer terkenal sekelas Abu Hasan Ali bin Hilal, yang dikenal dengan nama Ibnu Bawwab, seorang pakar kaligrafi kelahiran Baghdad. Ibnu Muqlah, seorang menteri yang tinggal di Bahgdad pula. Dan sejumlah kaligrafer lain yang lahir dan tinggal di kota Kufah, Bashrah, Kairo, Andalusia dan Isfahan, sehingga nama jenis khat kadang diambil dari nama kota tempat muasal lahir.
Ide dan pemikiran Ibnu Khaldun di atas tidaklah keliru. Kaligrafi Arab yang berkembang di Indonesia pun titik pusatnya berada di jantungnya, Jakarta. Maka kaligrafer yang berada di luar kota pun kini mau tidak mau harus melirik ke pusatnya, Jakarta. Kini kaligrafi Arab Di Jakarta sedang mengalami booming, terutama di kalangan pelajar dan mahasiswa. Mereka berantusias mempelajari kaligrafi melalui sanggar atau tempat-tempat kursus kaligrafi.
Metodologi Kaligrafi
Gagasan pemikirannya dalam kaitannya dengan metode pembelajaran, Ibnu Khaldun memaparkan beberapa hal yang harus ditempuh oleh para pelajar agar mereka memperoleh ilmu pengetahuan yang luas dan senantiasa malakah (melekat) dalam jiwa mereka. Di antara metode pembelajarannya adalah tadaruj, yaitu suatu metode perolehan pengetahuan pemahaman yang dilakukan secara bertahap, seperti pengulangan materi pelajaran sebanyak tiga kali.
Dalam hal ini, Ibnu Khaldun menyesalkan kebanyakan guru atau pembimbing belajar tidak mengetahui metode pembelajaran serta cara pemerolehannya. Dengan serampangan mereka menyampaikan materi kepada murid-muridnya dengan uraian-uraian yang enjlimet serta membebani mereka dengan sejumlah materi tambahan lainnya. Ini berbahaya. Akibatnya, jika hal ini dilakukan, maka murid-murid akan cepat merasa bosan dan malas belajar. Untuk itu, menurutnya, penting sekali seorang guru dan pelajar mengetahui hal ini serta memahami materi sesuai dengan kemampuannya, kemudian mengulangi kembali materi pelajaran yang telah diperolehnya sampai malakah.
Tentunya gagasan yang telah dipaparkan Ibnu Khaldun di atas konteksnya mencakup pemerolehan pengetahuan secara umum. Dan metode ini bisa saja diaplikasikan pada cara penulisan kaligrafi Arab (khat). Seorang pelajar atau santri di samping harus mengetahui teori penulisan, juga mereka dituntut menerapkannya melalui metode tadaruj itu. Sebelum mereka merasa yakin bahwa hurufnya itu indah, baik dan benar-dan ini tentunya setelah melalui proses latihan dan perenungan yang panjang serta pengoreksian dari guru atau pembimbingnya-ia tidak boleh beranjak ke penulisan huruf lain.
Ibnu Khaldun juga memaparkan dengan jelas, bagaimana seorang murid agar dapat menambah pengetahuan dan faedah, ia harus sering mendatangi sejumlah guru atau pembimbing. Artinya, bertambahnya pengetahuan seorang murid ditunjang oleh seringnya berinteraksi dengan sejumlah guru secara langsung (mubasyarah). Maksud itu tiada lain agar ada pihak yang bisa mengoreksi kesalahan atau kekeliruan suatu pemahaman atau pengetahuan seorang murid. Dan juga, masih menurut Ibnu Khaldun, karena setiap guru atau pembimbing belajar kadang mempunyai metode pembelajarannya masing-masing.
Ibnu Khaldun memberikan contoh perbandingan metode pembelajaran antara negara-negara yang berada di kawasan Maghrib (Barat) dengan negara Masyriq (Timur). Di Barat, para guru memberikan alokasi waktu masa belajar bagi para pelajar ditentukan selama enam belas tahun, sementara di Tunisia hanya dibutuhkan waktu lima tahun. Lama belajar tersebut disebabbkan para pelajar negara Barat pada masanya sangat sulit menerima materi, dan buruknya metode pembelajaran yang disampaikan para pengajarnya. Peradaban di Timur pada masa Ibnu Khaldun maju pesat, terutama bidang pranata sosial. Maka hal ini sangat menunjang dalam kelancaran proses kegiatan belajar mengajar (KBM).
Lancarnya kegiatan belajar mengajar dengan ditunjang oleh kedekatan interaksi antara guru dan murid serta latihan yang intensif dan konsisten dengan ditunjang ketersediaan media belajar yang komplit dan modern akan memungkinkan tercapainya keberhasilan yang gemilang.
*Anggota Forum Mubahasah Seni Dan Budaya LEMKA Ciputat Banten, Pengasuh Pesantren Kaligrafi Alquran LEMKA Sukabumi
Jl. Bhineka Karya Karamat Gunung Puyuh Sukabumi Jawa Barat Tlp. (0266) 231754 HP. 081911864123 e-mail: ibnoear@yahoo.com
Apabila Artikel atau info dalam blog ini baik dan bermanfaat bagi anda, harap disebarkan