A.D PIROUS DAN KALIGRAFI KONTEMPORER

0
Dari Pameran Retrospektif 2
A.D PIROUS DAN KALIGRAFI KONTEMPORER

Oleh D. Sirojuddin AR*

Tidak diragukan lagi bahwa kaligrafi islam kontemporer lahir dari adaptasi gaya Barat. Karya A.D Pirous adalah contohnya. Namun, bibit-bibit karakter kontemporer sesungguhnya sudah muncukl daslam periode klasik islam.
           
Pada tahun 1970-an public seni rupa islam di kejutkan oleh apa yang di namakan “lukisan kaligrafi” dan “kaligrafi lukis” Indonesia. Tak urung , “fatwa” penolakan pun bermunculan sebagai reaksi atas “pembrontakan” terhadap grammar huruf baku yang banyak dianut sebagai masa itu.

Penolakan tersebut benar-benar menciptakan “gendering perang” antara penganut mazhab kaligrafi nurni dengn kubu  pelukis yng mempertahankan pendirian mereka. Kalangan pertama, yang diwakili para khattat  ( kaligrafer ) yang berafiliasi ke pesantren, selain menyoal masalah etika, juga telah memperkarakan masalah tersebut ke persoalan fiqih ( hukum halal haram ). Sebaliknya, kelompok pelukis menganggap para kaligrafer murni minskin nuansa, karna  sebuah karya yang utuh “ tidak selesai hanya pada huruf”.

Awal perdebatan tersebut muncul terutama sejak Pameran Seni Kaligrafi Islami pada MTQ IX  di Semarang (1997 ) dan Muktamar Media Massa Islam se-Dunia 1 di Jakarta ( 1-3 september 1980 ). Uniknya, kedua pameran akbar tersebut tidak lepas dari partisipasi Joop Ave,  Dirjen Parpostel saat itu yang diketahui bukan muslim tapi punya perhatian terhadap karya-karya lukis islami. A.D Pirous dan pelukis besar Ahmad Sadali adalah yang memelopori kahadiran karya lukis  kaligrafi Islami yang pertama di pertontonkan dalam dua pameran tersebut.

Puncak perseteruan benar-benar meledak pada sarasehan Kaligrafi yang di prakasai Ikatan Mahasiswa  Muhammdiyah (IMM ) Universitas Gajah Mada, 12 September 1986, di Gedung Seni Sono Yogyakarta. Terjadi saling tunjuk dan adu argumen, kebetulan mayoritas hadirin para seniman Yogyakarta. Drs. Marwazi NZ yang merasa mewakili para khattat saat itu, menunjuk kesalahan-kesalahan tulis yang di buat para pelukis dan mencontohkan pelukis Affandi yang “Kurang senonoh” dan terlalu berani menaruh kata Allah di atas kepala potret dirinya. Saya yang jadi salah seorang  pembicara itu menjawab “kalau pelukis seperti Affandi mau menggores huruf Allah saja, itu sudah merupakan kemenangan dakwah islam.” Tidak disangka, jawaban itu di sambut gemuruh para pelukis.

Jadi, apakah perbedaan “lukisan kaligrafi” dengan “kaligrafi murni” itu ? yang di sebut kedua, terlalu lazim diketahui, yaitu gaya-gaya yang mengikuti rumus-rumus baku tradisional hasil olahan para empu klasik seperti khat-khat Naskhi, Sulus, Diwani, Farisi, Kufi, dan Riq’ah. Mazhab ini tidak berpotensi untuk di perdebatkan. Justru yang pertama, yng juga diklaim sebagai “mazhab kontemporer” akibat kehilangan grammar baku karena belum ada kodifikaksinya, menimbulkan perdebatan menarik. Dari  man a istilah kontemporer itu diambil dan apa batasan-batasannya ? lebih khusus, sebagai contoh, gaya kaligari Pirous yang digelar dalam Pameran Retrospektif 2, 11-31 maret 2002, di Galeri Nasional Indonesia, termasuk jenis kontemporer yang mana ?

Mengadaptasi Karakter Barat

kaligrafi islam kontemporer ( dalam bahasa Arab disebut mu’asir atau hadis yang berarti “zaman sekarang” atau “masa kini” yang kerap dihubungkan dengan seni rupa kontemporer  telah menjadi fenomena internasional. Sebagaimana seni rupa umumnya, ia pun berkembang bersama gelombang perubahan yang lebih luas bahkan acapkali melabrak batas-batas grammar yang sebelumnya disucikan.

            Terseretnya khat Arab ( islam ) kedalam arus perubahan dramati ini dikarenakan aphabetnya sangat toleran dijadikan ( dan selalu mencakup ) “ekspersi segala sesuatu” seperti di distilahkan F. Rosenthal dalam Four Essays on Art and Literature in Islam.

            Sementara itu, sejarah kaligrafi sendiri, sebenarnya adalah sejarah pemenukan dan perburuan gaya-gaya. Oleh Habibullah Fadaili di dalam kitabnya Atlas al Khat wal khutut di sebutkan, bahwa setiap gaya kaligrafi tunduk sepenuhnya terhadap eksperimen dan modofikasi selama bertahun-tahun bahkan berkurun-kurun , sampai terbentuknya pola yang benar-benar sempurna.

            Hanya dengan memahami ini saja, sebenarnya, tidak harus terjadi debat atau “perkelahian” di atas, karena pada hakikatnya pertumbuhan kaligrafi belum selesai. Meskipun sudah ada bentuk-bentuk daku tradisional, gaya-gaya baru harus terus dicari, termasuk gaya-gaya kontemporer.

            Terutama semenjak tahu n 1970-an ( yang dianggap titik awal kebangkitan angkatan seni rupa kontemporer ), pengaruh pemikiran dan orientasi Barat terasa sangat dominan, sehingga diakui atau tidak memberikan gaya baru pada sosok kaligrafi Islam Kontemporer. Bahkah menurut Samir al Sayegh ( Al- fan al- Islami, sampai detik ini pun kecendurangan lebih berkiblat ke Barat di kalangan kaligrafer di kawasan Arab dan wilayah islam lainnya sangat mencolok melebihi perhatian mereka terhadap gaya seni Timur lampau. Akibatnya “karakter asli kerapkali menghilang”.

            Nah, pada karya A.D Pirous, sang maestro pembawa mazhab Bandung, karakter “ kebebasan ekspresi” itu benar-benar menonjol diikuti oleh para tokoh dan angkaktkan sesudahnya seperti Amang Rahman, Amri Yahya, Syaidful Adnan, Hatta Hambali, Yetmon Amier, Hendra Buana, dan Said Akram. Kebebasan ekpresi ini Nampak dari sapuan yang tidak berafiliasi ke gaya klasik apapun. Seperti Sulus, tapi sulus yang di bebaskan. Mirip andalusi, tapi andalusi yang di bebaskan, tidak benar-benar huruf kufi, Naskhi, Farisi, Diwani, atau Riq’ah. Aksara mereka benar-benar bergerak ( seakan ) tanpa mazhab.

Mazhab Pirousi atau Mazhab Djalili

            A.D. Pirous memang tidak berangkat dari mazhab kaligrafi murni klasik. Namun kebebasab penuh ekspresinya menempatkannya dalam mazhab kaligrafi kontemporer. Hanya saja, untuk mencari makom ( tempat ) A.D Pirous dalam kaligrafi kontemporer, hendaknya melihat dahulu hakikat kaligrafi kontemporer.

            Olah Al Faruqi corak-corak tradisional menunjukkan kesesuaian dengan tradisi khat mamsa lalu dengan sedikit modifikasi pada beberapa bagiannya. Kaligrafi Figural menggabungkan motif-motif figural dengan unsur-unsur kaligrafi melalui pelbagai cara dan gaya, misalnya motif daun, manusia atau binatang. Dalam kaligrafi ekspesionis, huruf digunakan sebagai penyaluran perasaan dan gagasan yang paling dalam. Dalam kaligrafi simbolis, huruf atau kata-kata Arab tertentu digunakan sebagai symbol suatu gagasan atau ide-ide yang kompleks, misalnya huruf sin diasosiasikan dengan saif ( pedang ) atau sikkin ( pisau ). Sedangkan kaligrafi abstak disebut Al Faruqi dengan julukan “khat palsu” atau “khat kabut mutlak” karena huruf hanya menjadi unsure suatu corak dan untuk tujuan-tujuan seni semata, tidak mengandung makna apa pun yang dapat dikaitkan dengannya.

            Namun, dari keseluruhan kategori tersebut, harus dicarikan adanya bukti “pelanggaran” yang menunjuk pada bukti kebebasan kreatif yang menghasilkan gaya berbeda, yang dapat di simpulkan dari kemungkinan-kemungkinan berikut :

            Pertama, sepenuhnya berdiri sendiri sebagai suguhan khas penulisnya, dan mengabaikan samasekali bentuk anatomi huruf khat murni. Bentuk ini merupakan eksplorasi teknik dan kebebasan ekspresi penuh sang pelukis.
            Kedua, merupakan kombinasi hasil imaji pelukis dengan gaya murni yang sudah popular. Pada bagian ini karya kontemporer masih membawa sedikit warisan bentuk tradisionalnya.

            Caranya “membebaskan diri” dari tali-tali kemurnian kaidah dengan ekspresinya yang penuh sehingga kerap “tidak menggambarkan keadaaan khat yang sebenarnya” seakan menyeret goresan-goresan Pirous ke gaya ekspresionis. Tetapi Pirous selalu menoreh huruf, baik de ngan kalam, pisau, maupun rabaan jari-jarinya, dengan cermat, hati-hati dan tidak ngebut ( sebagaimana goresan ekspresi umumnya ) agaknya memberinya “jarak” dar criteria tersebut. Pada  Al-Ikhlas ( 1989 ), 17 Asma Tuhan (1980), ya Robbi Dengarlah Kami III & IV (1991) hingga karya mutakhirnya tahun 2002 Tamsil Perahu, Mengarungi Kehidupan ( cuplikan syair Perahu Hamzah Fansuri ) dan Tuhan, kita begitu dekat yang teksnya diambil dari sajak Abdul Hadi WM, kentara benar “ pembebasan diri yang hati-hati” tersebut.

            Tidak pula ada ruang-ruang penyusupan gaya simbolik dan figural dalam torehan ayat-ayar dan kaul hikmah di kanvas Pirous. Mufassir seni rupa Merwann Yusuf hanya pernah berungkap “A.D Pirous… melukis berkombinasi dengan penyampaian simbolik berupa isyarat-isyarat yang terkadang tanpa huruf…”(nah, simbolnya bukan pada huruf-hurufnya).

            Bahkan, jika mufassir seni rupa mamannor berwirid : “A.D. Pirous kembali dengan tma kaligrafi yang dapat dibaca,” semakin membuktikan bahwa kaligrafi Pirous bukan bergaya abstrak ( yang di maknai Al-Faruqi “khat Palsu” atau “khat kabur mutlak” kaena tidak dapat di baca).

            Jadi, di manakah A.D Pirous berada ?

            Karena sikapnya yang “mengabaikan” mazhab-mazhab tradisi dan lebih suka berjalan “sekehendak hati dan pikiran’’nya, maka Abdul Djalil Pirous benar-benar telah menemukan mazhab kontemporer khatnya sendiri : mazhab Pirousi atau mazhab Djalili !

            Gaya individual semacam ini abash , apalalgi di abad modern. Bahkan, dalam raga nama kaligrafi klasik pun terdapat gaya-gaya yang dinisbatkan kepada nama-nama penciptanya, seperti khat yaquti kreasi Yaqut al Musta’sini, khat Rayhani  ( dari Ali ibnu Ubaidillah Al-Rayhan ), khat Abbasi ( Shah Abbas ), khat Isma’ili ( Ismail al Syajari ), khat Gazlani ( Gazlan Bek ) dank khat Nasiri ( Nasiruddin ).

            Berbeda dengan gaya-gaya di atas yang mendukung cikal bakal kaligrafi murni, poresan A.D Pirous dengan kesan kebebasannya justru menjauhkakn dirinya dari kemurnian, yang lebih menyeretnya kepada mazhab kontemporer. Persamaan A.D Pirous dengan para pelukis kaligrafi kontemporer, adalah lingkungan Barat yang dienyamnya  ( dengan kuliah di Roxhester Institu Technology, New York, 1969 ).

            Nama-nama pelukis kaligrafi kontemporer yang sehaluan dengan Zenderoudi seperti M. Omar, M, benbella, N. Mhdoui, E. Adnan, dan Mahdi Qatbi, semuanya hidup di Paris. Kamal Boulatta bekerja di Washington DC. Ali Omar Ermes dari Libya belajar di London. Seperti Pirous, pergaulan dengan para pelukis Barat, dan pelukis-pelukis islam lainnya memberikan pengaruh kuat terhadap gaya dan orientasi dalam karya-karya lukis kaligrafi mereka.

            Masih seperti A.D Pirous yang selalu tampil di pameran dengan sambutan meriah, penampilan karya para kaligrafer kontemporer pun disambut luar biasa antusias karena gagasan-gagasan atau “keanehan” karya-karyanya. Pada 6 april s.d. 7 mei 1997, misalnya, kaligrafer kontemporer Kuwait Fareed Abdulraheem Al-Ali memamerkan “Formation of the revered word Allah” di House of Zeniab Khatun Al- Azhar, Kairo, juga mencekam penonton karena gaya-gaya “pemberontakan” yang di tampikannya. Karenanya, pameran pun dilanjutkan ke Al Qa’ah Al Kubra, Abu Dhabi, 1-8 oktober 1998, yang kembali disambut meriah.

Dicari : mazhab Indonesia

            A.D Pirous adalah fenomena menarik. Yang dirasakannya mencerminkan kecendrungan rata-rata sikap batin dan pikiran para pelukis kaligrafi islam kontemporer ( yang cikal bakalnya sebenarnya sudah nampak sejak memunculan gaya Thugra di zaman Turki Usmani )

            Ciri keseragaman mereka menonjol dalam ungkapan-ungkapan paling berani kaligrafer kontemporer Tunisia Naja Al Mahdui yang berkolaborasi dalam berkarya dengan pelukis jerman Hgwefinkel : “huruf bagi saya adalah materia hidup, yang darinya saya olah apa saja, sekehendak saya “. Dan “dalam teknik mengolah seni, saya kembali kewarisan alamiah, namuun saya mesti keluar darinya. Kalau tidak, saya akan amti di sana.”

            Sikap Al-mahdoui mencerminkan pandangan perlunya pengembangan huruf-huruf supaya tidak statis, karena huruf itu sendiri menawarkan kelenturan luar biasa. Sikap revolusionernya itu oleh Charbal Dagir di sebut al-la’bah al-majnunah, ( permainan gila ) . Namun, semua itu hanyalah persoalan ijtihdiyah (usaha ) yang perlu terus dipupukkembangkan.

            Potensi ke arah itu di Indonesia sangat terbuka. Selain gaya pirousi ( A.D Pirous ), dikenal pula gaya-gaya syaifuli ( Syaiful Adnan ), Amani ( Amang Rahman ), Hendrawi (  hendra Buana , yermini ( Yetmon Amier ) atau Akrami ( Said Akram ). Hak atas mazhab-mazhab tersebut bisa dipatenkan, sambil memacu kelahiran mazhab-mazhab kaligrafi kontemporer Indonesia lainnya.

*Ketua Lembaga Kaligrafi Al- Qur’an ( Lemka ) IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Apabila Artikel atau info dalam blog ini baik dan bermanfaat bagi anda, harap disebarkan
Leave A Reply

Your email address will not be published.