Seni Pertunjukan Wayang, Film, dan Drama

0

Dakwah Islam melalui seni pertunjukan sudah dikenal luas melalui pergelaran wayang yang dirintis oleh para wali atau Wali Songo (antara abad ke-14 hingga abad ke-16) terutama Sunan Kalijaga. Dengan kehalusan misi yang disisipkan dalam cerita wayang yang telah jadi tontonan rakyat, Islam bisa diterima dengan mudah. Hal ini tidak lain karena wayang itu luwes, seperti pasar malam yang menjual beragam ekspresi seni, sehingga fungsinya dapat berubah sesuai dengan aspirasi yang berkembang di masyarakat.
Wayang yang telah dipoles unsur Islam tidak samasekali berubah bentuk aslinya, yaitu kisah Ramayana yang bersumber epos Hindu Kuno karangan Walmiki pada 5 atau 2 abad sebelum Masehi, dan kisah Mahabrata (dengan ceritera inti peperangan Bharata Yudha antara Korawa melawan Pandawa) yang bersumber epos Hindu Kuno karangan Wiyasa. Seni wayang dapat hidup bercahaya dan menjadi lahan strategis dakwah Islam karena cabang-cabang kesenian yang terdapat di dalamnya, yaitu: seni mengarang, seni sastra, seni suara/vocal, seni suara instrumental, seni tari, seni pahat, seni bentuk, dan seni lukis.
Modifikasi besar-besaran terhadap ceritera wayang diadakan setelah didirikannya kerajaan Demak (1500 M) yang seluruh penguasa dan rakyatnya telah memeluk Islam. Sultan Demak pertama yaitu Raden Patah (putra raja terakhir Majapahit Kertabumi Brawijaya), selain ahli tatanegara adalah juga seorang ulama yang menggemari kesenian wayang. Namun, ia melihat adanya tiga unsur yang tidak dapat diterima bahkan diharamkan Islam dalam wayang, yaitu:
1.      Bentuk wayang yang menyerupai manusia, karena menyerupai bentuk arca.
2.      Cerita-cerita dewa yang penuh kemusyrikan.
3.      Cerita-cerita yang positif tapi tidak memiliki nilai dakwah, seperti mengenai keimanan, ibadah, dan akhlak menurut Islam.
Melalui musyawarah dengan para wali, Raden Patah melanjutkan bahkan mengembangkan seni wayang dengan beberapa modifikasi pada bentuk, cerita yang diilhami jiwa Islam, tokoh-tokoh yang dijadikan lambang sesuai ajaran Islam, etika bermain para dalang, penabuh gamelan, para wira suara sampai penonton yang sesuai dengan norma-norma akhlak, dan penyisipan makna yang sesuai dengan dakwah Islam pada seluruh unsur seni wayang, termasuk alat-alat gamelan dan nama tembang-tembang mocopatnya.
Pengaruh seni wayang meluas seiring meluasnya kekuasaan Kerajaan Demak (1500-1549 M) meliputi hampir seluruh Pulau Jawa sampai Sumatera Selatan dan Kalimantan. Semangat Islam terus meresap ke dalam media wayang yang juga dimodifikasi bentuk, aliran, dan teknik ceritanya dari waktu ke waktu. Misalnya dalam pertunjukan teater boneka Wayang Golek Menak di Jawa Tengah (Wayang Cepak di Priangan atau Wayang Papak di Cirebon) yang mengusung tema kepahlawanan Islam di awal kebangkitannya sebagai agama dunia dengan tokoh utamanya Wong Agung Hamzah yaitu Amir Hamzah, pamanda Rasulullah saw, dan Umar Umayah atau Umar Maya setelah nama itu dinusantarakan.
Meskipun dalam Wayang Kulit di Jawa Tengah dan Jawa Timur dan Wayang Golek Purwa di Jawa Barat unsur-unsur Hindu masih sangat kuat, namun penyusupan nilai-nilai Islam seperti akhlak selalu kentara, menunjukkan adanya semangat Islam yang tidak akan pernah berhenti bekerja. Beberapa dalang kenamaan seperti Ki Cecep Supriyadi, Ki Asep Sunandar Sunarya dan Ki Ade Kosasih Sunarya, Ki Narto Sabdo, Ki Manteb Sudarsono, Ki Anom Suroto, dan Ki Sujiwo Tejo tak pernah lepas menyisipkan pesan-pesan Islam tersebut.
Seni pertunjukan film dan teater yang bernafaskan Islam umurnya lebih muda, dan mulai lebih dikenal awal tahun 1960-an. Tidak dapat ditampik pula banyaknya anggapan, bahwa film-film dakwah di layar lebar atau di televisi itu sebenarnya tak lebih dari film-film hiburan biasa. Hal ini karena film-film tersebut lebih banyak menonjolkan “kulit” daripada “esensi” atau permasalahan Islam yang sebenarnya.
Pandangan ini tertuju terutama kepada film-film yang hanya mengetengahkan adegan-adegan orang sembahyang, mengaji, alunan azan di mesjid, menara masjid, sosok pak haji yang memegang tasbih atau kiyai yang mengusir syetan, atau lukisan kaligrafi yang sengaja digantungkan di dinding supaya terkesan rumah dan keluarga yang Islami. Nafas Islam dalam film-film jenis ini sering dianggap bias, hanya muncul di permukaan sebagai “aksesoris” yang bertujuan komersil belaka.
            Namun tarikan nafas Islam itu tetap ada (atau selalu diusahakan ada), terlepas dari tujuan dibuatnya film-film atau drama tersebut. Beberapa film yang memuat pesan keislaman agak jelas, dapat disebut, misalnya Al-Kautsar (sutradara Chaerul Umam), Perjuangan dan Do’a dan Nada dan Da’wah (dengan bintang Rhoma Irama), Tjut Nyak Dhien (arahan Eros Djarot), Wali Songo, Sunan Kalijaga, Fatahillah, Titian Serambut Dibelah Tujuh (Asrul Sani), dan Di Bawah Lindungan Ka’bah (yang diangkat dari novel karya Hamka). Nafas Islam, meskipun hanya sebagai “aksesoris” ditampakkan juga, misalnya, dalam film-film yang dipetik dari Kisah 1001 Malam seperti Ali Baba, Aladin atau Sinbad sampai film-film yang menayangkan alam arwah yang berbau kejawen dan syirik seperti Babi Ngepet, Buaya Putih atau Misteri Bebegig  yang sekedar menampilkan “kesaktian” Islam sebagai pengusir syetan.
Beberapa drama bernafaskan Islam pernah muncul tahun 1940-an sampai 1960-an seperti Insan Kamil karya El-Hakim (Abu Hanifah), Bala karya M. Yunan Nasution,  Sinar Memancar dari Jabal Nur karya Bachrum Rangkuti (1950), Perahu Nuh karya Aspar Paturusi, Syeh Siti Jenar karya Vredi Kaslam Martha,  dan Masyitoh karya Ajip Rosidi. Perkembangan ini berlangsung sampai munculnya tokoh-tokoh teater moderen seperti Mohammad Diponegoro (Iblis), Emil Sanossa (Fajar Sidik), Arifin C. Noer (Datang Rasul Pergi Rasul), dan Kuntowijoyo yang sangat halus menyelipkan kritik atas kehidupan yang serba benda dan pesan keagamaan misalnya dalam Rumput-rumput Danau Bento, Tidak Ada Cinta Bagi Nyonya Fatma, dan Barda dan Topeng Kayu.
Beberapa karya dan pementasan drama pernah pula ditampilkan seperti Pak Kanjeng dan  Lautan Jilbab oleh Emha Ainun Nadjib atau beberapa drama Islam seperti Umar bin Khatab oleh Mas Bilal, pimpinan teater anak-anak Cordova. Drama sinetron bernuansa Islam waktu-waktu terakhir semakin laku dan sering dijumpai dalam layar kaca seperti Do’aku Harapanku, Do’a Membawa Berkah, dan Syurga di Bawah Telapak Kaki Ibu sebagai pertanda semakin kencangnya hembusan nafas Islam ke dalam seni pertunjukan drama.
Apabila Artikel atau info dalam blog ini baik dan bermanfaat bagi anda, harap disebarkan
Leave A Reply

Your email address will not be published.