Seni Arsitektur

0
Dibandingkan dengan Timur Tengah, perkembangan seni arsitektur Islam di Indonesia relatif masih muda, yang diketahui sosoknya dari bentuk Masjid Agung Demak (1434 M). Namun, secara keseluruhan, bentuk-bentuk arsitektur Islam di Indonesia nampak pada tiga sosok benda, yaitu makam, masjid, dan keraton.
1. Makam
      Arsitektur makam yang berukuran persegi panjang umumnya terdiri dari bangunan bawah yang disebut kijing dan bangunan atas yang disebut nisan atau maesan. Pengaruh arsitektur pra-Islam nampak terutama pada makam tua, misalnya pada makam Sultan Malik as-Saleh (w 1297 M) dan makam Maulana Malik Ibrahim (w1419 M) yang bergaya Gujarat, atau cungkup makam Fatimah binti Maimun di Gresik, makam Masjid Panjunan Cirebon, dan makam para raja Goa yang mirip bangunan candi Hindu. Ciri keislamannya biasanya nampak pada motif kaligrafi penghias nisan sebagai penunjuk identitas almarhum atau do’a.
      Selain makam-makam individu, dikenal pula tradisi makam kumpulan untuk keluarga atau keluarga raja seperti komplek makam Imogiri Yogyakarta,  dan makam masjid yang menyatukan wilayah makam (biasanya para tokoh agama atau keluarga raja Islam) di komplek masjid seperti komplek makam Gunung Jati Cirebon dan makam Sendangduwur Tuban.
2. Masjid        
Sejak awal perkembangannya sampai sekarang, bentuk arsitektur masjid Indonesia memperlihatkan adanya 4 gaya, yaitu:
1.      Gaya Tradisional
2.      Gaya Timur Tengah
3.      Gabungan Gaya Tradisional dan Timur Tengah
4.      Gaya Bebas.
Contoh masjid bergaya tradisional adalah Masjid Agung Demak yang merupakan masjid tradisional tumpang tiga yang dijadikan model bagi masjid beratap miring di Asia Tenggara. Atap tumpang yang biasanya berjumlah tiga sampai lima ini mirip meru pada kuil-kuil di Bali.
Contoh masjid bergaya Timur Tengah adalah Masjid Baiturrahman di Banda Aceh (1612 M), yang merupakan masjid kubah awal yang dibangun di Indonesia. Masjid-masjid yang dibangun sejak awal kemerdekaan dan seterusnya seperti Masjid Agung Istiqlal (Jakarta), Masjid Agung Syuhada (Yogyakarta), dan Masjid Agung Al-Azhar (Jakarta) mengembangkan pola kubah ini.
Contoh masjid gabungan tradisional dan Timur Tengah banyak dibangun oleh masyarakat terutama di wilayah Sumatera Barat. Sedangkan yang mengambil pola bebas, dapat dicontohkan dengan Masjid Salman (ITB, Bandung, 1964) yang menampilkan ekspresi atap datar beton dan merupakan masjid pertama di Indonesia yang melepaskan diri dari idiom yang telah dikenal masyarakat. Beberapa masjid yang dipengaruhi gaya arsitektur Masjid Salman adalah Masjid Sunda Kelapa (Jakarta, 1967) dan Masjid Istiqamah (Bandung, 1971).
Keunikan yang menjadi ciri utama arsitektur masjid Indonesia adalah pada masjid-masjid agung lama yang dirintis para wali yang polanya menyebar ke banyak daerah. Ciri-ciri itu nampak selain pada atapnya yang bertumpang, juga pada adanya kolam tempat berwudhu, kentongan atau beduk, mustaka di puncak bangunan, gapura, dan letaknya yang selalu dekat dengan kantor pemerintahan atau balai desa. Sedangkan hiasan interior dan eksteriornya kerap menerapkan tradisi seni hias candi atau Cina yang digubah sedemikian rupa sehingga membentuk pola ornamen yang berciri Islam. Di antara motif ukirannya adalah pola medalion, dedaunan atau terkadang binatang yang dikombinasikan dengan ukiran kaligrafi.
3. Keraton
Keraton atau istana khalifah atau sultan merupakan sumber pengenalan karya seni Islam. Keraton tertua yang masih ada di Pulau Jawa adalah Keraton Kasepuhan Cirebon yang dibangun oleh Sunan Gunung Jati tahun 1489 M, tidak lama setelah Kerajaan Demak didirikan. Menyusul kemudian Keraton Yogyakarta dan Surakarta yang memiliki dua bangsal (bangunan) utama, yaitu  untuk audiensi dengan masyarakat (Tratag Siti Hinggil) dan menerima tamu privat (Bangsal Kencana). Agaknya, pola ini dipengaruhi oleh istana raja-raja Islam di India yang juga memiliki dua bangsal utama dengan peranan yang sama, yaitu Diwan-i-aum dan Diwan-i-khass.
Baik di bagian luar maupun dalam keraton kerajaan Islam, motif-motif hias pengaruh kesenian Majapahit seperti garuda, pemandangan dengan motif awan dan wadasan, motif pohon hayat atau gunungan, motif wayang, dan sebagainya masih kentara. Namun intervensi dekorasi Islam juga nampak bergabung, misalnya pada hiasan dinding gebyok motif ukir kerawangan yang mirip arabesque atau lukisan kaligrafi kaca Macan Ali seperti yang terdapat di Keraton Kasepuhan Cirebon.
Meskipun sangat jelas adanya pengaruh motif Hindu pada arsitektur keraton Islam yang akhirnya berkembang ke rumah tinggal, namun nuansa Islam sangat terlihat jika dibandingkan dengan istana atau rumah tinggal beberapa keraton atau rumah suku-suku yang belum disentuh Islam, seperti Nias dan Toraja, di mana arsitektur keraton atau rumah tinggal Islam lebih bersih dari simbol-simbol animisme/dinamisme, adanya pembatas untuk muhrim dengan bukan muhrim, atau munculnya ruang untuk shalat.
Beberapa waktu belakangan, mesjid dan rumah tinggal dengan interior perabotan bernuansa Islam atau dekorasi kaligrafi semakin menyemarakkan “trend rumah muslim” yang menunjukkan semakin besarnya pengaruh arsitektur bernafaskan Islam di Nusantara.
Apabila Artikel atau info dalam blog ini baik dan bermanfaat bagi anda, harap disebarkan
Leave A Reply

Your email address will not be published.