DISKUSI

0

 H.Iman S Mu’minin, S.Pd.I

Kata diskusi dalam bahasa Arab hampir semakna dengan kata musyawarah, mudzakarah (saling mengingat), mutharahah (saling melempar pendapat), mujadalah (saling berbantahan). Kata diskusi sendiri sejatinya adalah kata serapan dari bahasa Inggris: discussion, yang mengandung makna kurang lebih dari kata-kata tersebut di atas, yakni pertukaran pikiran atau pendapat mengenai suatu masalah atau suatu hal di bidang ilmu. Dalam diskursus hukum Islam, kata diskusi lebih sering disebut sebagai musyawarah dan mujadalah. Musyawarah sendiri berasal dari kata Arab syaur: sesuatu yang tampak/jelas, yang secara semantik berarti menyimpulkan pendapat berdasarkan pandangan antar kelompok. Lalu kata Arab musyawarah tersebut diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi musyawarah/permusyawaratan. Karena metode musyawarah adalah salah satu metode penting dalam pengambilan keputusan secara demokrasi, Islam selalu menyebutnya tidak sekali saja dalam al-Quran, bahkan musyawarah dijadikan salah satu prinsip yang diperintahkan Allah kepada umat manusia untuk melakukannya. Begitu pentingnya musyawarah dalam Islam, salah satu surah dalam al-Quran dinamakan as-Syura (Musyawarah). Muncul pertanyaan, mengapa Islam begitu kuat menekankan kepada manusia untuk melakukan diskusi atau musyawarah bersama, bukankah satu orang manusia saja sudah cukup untuk memutuskan perkaranya? Justru karena manusia bersifat relatif, tidak sempurna dan terbatas, maka manusia membutuhkan bantuan pemikiran dan informasi dari orang lain seputar permasalahannya melalui musyawarah. Oleh karenanya, kegiatan musyawarah amat ditekankan, kalau tidak mau disebut diwajibkan, dalam Islam. Oleh karena objek cakupan permasalahannya yang luas dihadapi manusia tentu musyawarah harus dilakukan dalam segala kegiatan kehidupan manusia, bahkan dalam kehidupan negara dan politik sekali pun seperti yang tersurat dalam al-Quran Surah Ali Imran: 159. Menurut Rasyid Ridha, objek permasalahan yang perlu dimusyawarahkan adalah hal yang menyangkut persoalan keduniawian yang tidak terdapat ketentuan dalam al-Quran dan sunnah. Bagi Rasyid Ridha, permasalahan keagamaan semata-mata sepenuhnya menjadi wewenang Allah lewat firman-Nya dan wewenang Rasulullah lewat sunnahnya. Tetapi pendapat Rasyid Ridha ini dibantah oleh sejumlah pakar tafsir kenamaan seperti ar-Razi, al-Maraghi dan al-Jassas dalam tafsirnya, mereka berpendapat kata al-amr (urusan/perkara) dan kata al-umuru (urusan-urusan) dalam Surah as-Syura: 38 menunjuk kepada segala sesuatu yang tidak diatur secara jelas oleh al-Quran. Oleh karena itu, objek musyawarah tidak hanya terbatas pada persoalan duniawi, tetapi meliputi urusan agama yang tidak ada nashnya yang pasti dalam al-Quran dan sunnah. Kegiatan musyawarah atau diskusi termasuk pidato tak bisa lepas dari etika dan tekniknya. Sejak dahulu, para pemikir dan filosof Yunani tak habis-habisnya membahas soal etika dan teknik berdiskusi dan berpidato. Di antara khazanah ilmiah klasik yang mereka miliki dalam berdiskusi adalah retorika dan argumentasi. Retorika lebih kepada keterampilan menyampaikan pernyataan dalam pidato, sementara argumen mencakup penyampaian pendapat dalam berdiskusi dan berdebat. Sejatinya penggunaan retorika bermaksud agar bahasa yang disampaikan dapat menimbulkan kesan yang indah. Melainkan, bahwa seni berpidato ini kerap kali digunakan kata-kata yang muluk dan bergaya bombastis untuk mempengaruhi sikap dan perasaan orang lain. Tokoh penggagas retorika terkenal adalah Corax dari Sirakusa (500 sm). Dialah yang mula-mula meletakkan sistematika oratori atas lima bagian, yaitu: 1. Proem atau pengantar pidato 2. Diegesis atau narasi: uraian pokok persoalan yang dikemukakan 3. Agon atau argumen: mengemukakan bukti-bukti tentang pokok persoalan yang dikemukakan 4. Parekbasis atau digresi: catatan pelengkap yang dianggap penting untuk menguatkan argumentasi 5. Peroratio: penutup pidato yang menjelaskan kesimpulan dan saran-saran. Buku karya terkenal seputar teori-teori retorika pada masa Yunani kuno adalah Rhetorica karya Aristoteles. Menurutnya, retorika sejatinya kombinasi dari ilmu logika (mantik) dan etika dalam ilmu politik, sebagian mirip dengan dialektika dan penalaran sofistiknya kaum Sofie. Dalam Rhetorica itu juga Aristoteles mengungkapkan rahasia agar perkataan bisa menarik dan memenangkan pendengar adalah dapat diperoleh lewat bakat alami atau praktik (latihan) yang lama. Orang akan cepat tertarik pada ungkapan seputar ide-ide yang baru dan aktual dan tidak begitu menyukai argumen yang terlalu jelas (tidak merangsang pikiran dan tidak membutuhkan penyelidikan), maupun argumen yang membingungkan pikiran saat didengar. Retorika klasik maupun modern pada dasarnya sama substansinya, hanya ada sedikit perubahan sarana berkaitan dengan perkembangan media sosial kini, seperti internet, Facebook, Whatapp, Line, Instagram, dan lainnya. Prinsip-prinsip dasar pada retorika klasik maupun modern masih berlaku hingga kini, di antaranya: 1. Penguasaan secara aktif sejumlah kosa kata bahasa 2. Penguasaan secara aktif kaidah-kaidah tatabahasa yang memungkinkan pembicara dapat menggunakan beragam bentuk kata dengan nuansa dan konotasi yang beragam 3. Menguasai beragam gaya bahasa (style/uslub) dan diksi (pilihan kata), sehingga dengan keduanya tercipta suasana yang dapat menarik perhatian pendengar 4. Memiliki penalaran logika yang baik sehingga suasana tidak monoton dan membosankan 5. Mengenal beberapa ketentuan teknis penyusunan komposisi tertulis dan terucap sehingga mudah dibaca dan dipahami pendengar. Di samping retorika, berdiskusi dan berpidato juga dibutuhkan argumen kuat. Argumen dalam kajian logika Arab (mantik) sering disebut hujjah, yang kurang lebih berarti keterangan, alasan, bukti dan argumen. Para pakar logika Arab membagi hujjah kepada naqliyah dan aqliyah. Hujjah naqliyah mengacu kepada argumen yang berdasarkan atas kutipan-kutipan ayat al-Quran dan sunnah. Sementara hujjah aqliyah menunjuk kepada argumen atau keterangan yang bersumber dari akal pemikiran manusia semata. Dalam hujjah aqliyah ini, mereka membaginya kepada lima hujjah: 1. Khithabiyah: argumen atau keterangan yang disusun dari proposisi-proposisi dengan menggunakan landasan yang terpercaya, seperti keterangan atau pernyataan dari para ulama/ilmuwan atau berasal dari teks-teks kitab/buku yang mu’tabar (diakui). 2. Jadaliyah: argumen atau keterangan yang disusun dari pernyatan yang sudah umum dan diakui kebenarannya. Biasanya hujjah ini dibuat berlandaskan premis logika. 3. safsathiyah/sophisme: argumen yang disusun dalam bentuk pernyataan yang tampaknya benar, padahal salah. Hujjah ini biasanya dipakai oleh mereka yang hebat bicara, retorika yg tampak logis dan meyakinkan dengan dibungkus oleh gaya bicara dan orasi yang mengagumkan tetapi tujuannya sebatas beretorika dan cenderung menipu mitra bicara. 4. Syi’riyah: berasal dari kata syu’ur (perasaan), yakni argumen yang berlandaskan syu’uri (mengaduk-aduk perasaan), yang bertujuan mempengaruhi mitra bicara dengan membawa perasaan emosi sehingga terpengaruh. Hujjah jenis ini cenderung mengandung kebohongan. 5. Burhaniyah: argumen atau keterangan yang disusun dengan proposisi-proposisi yg benar dan kebenarannya itu betul-betul meyakinkan. Inilah jenis hujjah/argumen yang paling kuat dan diyakini paling benar dibanding yang empat awal di atas. Jenis hujjah ini dikemukakan berdasarkan dua jenis: dharuri (jelas dan mudah dipahami) dan nazhari (butuh penalaran, penelitian dan pemikiran yang mendalam). Secara etika berargumentasi, ada beberapa hal yang musti dihindari saat berdiskusi atau berpidato, yakni: 1. Argumentum Ad Hominem (manusia), adalah melontarkan argumen kepada lawan bicara dengan menyerang pribadinya atau wataknya, yang tidak ada sama sekali kaitannya dengan persoalan yang didiskusikan, seperti ungkapan, “kamu bodoh sekali..Kamu si dungu..”, dan lainnya. 2. Argumen Ad Populum (rakyat): pendapat yang kebenarannya dicari di bawah naungan atau atas nama pendapat, opini orang banyak atau rakyat. Argumen ini selalu membawa-bawa orang lain atau rakyat. Biasanya jenis argumen ini dipakai oleh kaum elitis dan politisi yang selalu mengatasnamakan rakyat. 3. Argumentum Ad Ignorantium: argumen dengan logika terbalik, yakni proposisi dikatakan benar karena ia terbukti keliru atau sebaliknya. Biasanya argumen jenis ini digunakan oleh kaum teolog, seperti ungkapan seorang atheis, “Karena Tuhan sulit dibuktikan, maka Dia tidak ada”. Argumen ini dibantah oleh kaum agamawan, “Karena bukti keberadaan-Nya tercarat di kitab suci dan adanya eksistensi makhluk dan alam semesta ini, maka mustinya memang Dia ada sebagai penciptanya”. 4. Argumen Ad Baculum (ancaman): mengungkapkan argumen berupa ancaman kepada lawan diskusi. 5. Argumentum Ad Misericordian: berargumen dengan cara menarik simpati rasa belas kasihan dari lawan bicara atas suatu penderitaan 6. Argumen Ad Verecundiam: berargumen dengan mengungkapkan pendapat yang dicari dukungannya dari otoritas yg bukan bidang keahliannya, seperti iklan-iklan yang menjual produk kecantikan dengan memanfaatkan para artis sebagai rujukannya bukan dokter kulit, syaraf atau dokter ahli. Demikian. Semoga bermanfaat. Wassalam PKAL, 07 November 2020 (HimaniaR)
Leave A Reply

Your email address will not be published.