Mohamed Zakariya, Menemukan Islam Lewat Keindahan
Oleh Shally Pristine
Ketika membuat kaligrafi, hatinya merasa dekat dengan Allah SWT.
Suatu hari di bulan Ramadhan, Pelabuhan Casablanca, Maroko riuh dengan aktivitas pelayaran. Ada kapal yang melepas sauh, sebagian lain merapat. Sebuah kapal barang yang sudah uzur berbendera Yugoslavia baru tiba di Casablanca setelah berlayar dari Amerika Serikat (AS).
Dalam kapal itulah Mohamed Zakariya-yang kelak menjadi salah satu kaligrafer ternama di dunia-memulai perjalanannya mencari arti hidup yang hakiki. Begitu menapakkan kakinya di Negeri Maghribi itu, Zakariya yang waktu itu baru berusia 19 tahun langsung tersirap atmosfer Ramadhan.
Begitu tiba di Maroko, ia melihat seorang lelaki tua berjubah dengan serban kuning cerah sedang melintas di pelabuhan. “Seketika Anda akan merasakan bahwa di sana semuanya sangat berbeda,” ujar Zakariya kepada sebuah majalah terbitan AS, beberapa waktu lalu.
“Saya diusir dari kelas setelah kejadian itu. Sekali pernah melakukan hal itu, rasanya diri ini menjijikkan,” tutur Zakariya mengenang. Ketika berulang tahun ke-18, Zakariya pergi dari rumah dan tinggal di sebuah bengkel dekat Malibu. Dia mendapat pekerjaan di pabrik komponen pesawat terbang.
Perjalanan pulang dari Casablanca ke New York juga menggoreskan kesan mendalam bagi Zakariya. Kapal barang yang sudah tua itu terjebak badai di Perairan Atlantik. Ombak tinggi menghantam dan mesin kapal rusak. Zakariya dan para anak buah kapal terombang-ambing di laut selama beberapa hari.
Kapal yang mesinnya bermasalah itu akhirnya berhasil sampai di Pelabuhan New York. Ketika kembali ke California, Zakariya menyadari bahwa gaya hidup mabuk-mabukan dan pergaulan bebas yang dia jalaninya di Malibu tak bisa memenuhi kebutuhan batinnya.
Di satu sisi, ia memang berhasil melepaskan diri dari kehidupan penuh kepalsuan milik orang tuanya. Di sisi lain, dia malah terjebak ke dalam situasi yang lebih tak dia sukai. Dia ingin mendobrak situasi saat itu, terlebih perjalanannya ke Maroko telah membuka matanya terhadap Islam.
Beberapa pekan kemudian, Zakariya kembali teringat dengan keindahan Islam. Ketika tengah berjalan-jalan di Bulevar Wilshire, Malibu, pandangannya tertumbuk ke selembar karpet Persia bermotif kaligrafi. Sayang, harganya terlalu mahal.
Awalnya, dia mencoba mengerti arti teks yang diukir lewat Alquran yang diterjemahkan ke bahasa Inggris. Lambat laun dia sudah menguasai bahasa Arab. Karena itu, dengan menjadi kaligrafer, secara tidak langsung dia juga mempelajari isi Alquran.
Zakariya pun menjadi seorang Muslim. Ia mengucap syahadat di satu-satunya masjid yang ada di Los Angeles pada waktu itu. Butuh tiga jam perjalanan baginya untuk sampai ke masjid itu. Begitu dia menunaikan rukun Islam pertama itu, seorang saksi menyarankannya untuk menggunakan nama Rasulullah sebagai tanda hijrah.