Kaligrafi Di Alas Kaki

0


Ahmad Dhani, musisi muda yang selalu tampak saleh karena berjenggot rapi itu, kaget. Grup musik Dewa yang dipimpinnya dituding melecehkan Allah dan Islam. Ini gara-gara mereka memakai kaligrafi berlafal Allah sebagai alas panggung dalam pertunjukan di sebuah stasiun televisi, Ahad tiga pekan lalu. Ustad Wahfiuddin, yang menyaksikan acara itu, kontan minta stasiun televisi tersebut menghentikannya, karena terkesan Dewa menginjak-injak lafal suci.

 Kasus ini tak berhenti sampai di situ. Senin pekan lalu, sejumlah organisasi Islam melaporkan Dewa ke Polda Metro Jaya. Bukan hanya soal kaligrafi yang terkesan terinjak-injak itu, tapi Dewa juga dituntut mengganti hiasan kaligrafi di sampul album Laskar Cinta. Tapi, setelah Dewa setuju memodifikasinya, gugatan itu mereda. “Kaligrafi yang baru sudah tidak lagi terbaca sebagai lafal Allah,” kata Ustad Ahmad Sobri Lubis, Ketua I Dewan Pimpinan Pusat Front Pembela Islam, salah satu organisasi yang menggugat.
Ahmad Dhani sendiri mengaku tahu kaligrafi itu memang berlafal Allah. “Saya pernah melihatnya di ruang kerja ustad saya,” katanya. Sebagai penggemar berbagai macam logo, saat itu mata seninya langsung kepincut. Maka, ia pun lalu mempermak kaligrafi itu dengan menghapus huruf ‘ha’ (huruf terakhir dalam lafal Allah), sehingga menurut dia tak lagi bisa dianggap lafal Allah.
Tapi, ia sama sekali tak menduga akan muncul reaksi begitu keras. Sementara itu, mengenai penempatan kaligrafi itu sebagai alas panggung, menurut dia semata-mata demi keindahan visual pada tayangan televisi saja, tanpa bermaksud menginjak-injaknya. “Melecehkan agama lain saya tidak berani, apalagi agama sendiri,” tuturnya.
KH Sirodjuddin A.R., pimpinan Pesantren Kaligrafi Al-Quran Lemka, setuju modifikasi kaligrafi itu telah membuatnya tak lagi terbaca sebagai Allah. Tapi, dia menolak pendapat Dhani yang menyatakan hiasan kaligrafi yang telah dihapus huruf terakhirnya sudah tidak bermakna Allah lagi. “Kaligrafi pada sampul album yang pertama itu masih merujuk pada lafal Allah,” ujar seniman kaligrafi itu.
Menurut Sirodjuddin, setiap kali melukiskan lafal Allah, seniman kaligrafi selalu berusaha mengekspresikannya sebagai upaya pengagungan terhadap Allah SWT. Bahkan, jika dalam rangkaian ayat Al-Quran terdapat lafal Allah, misalnya, sang seniman lazim menempatkannya lebih tinggi dibandingkan dengan rangkaian kata yang lain dalam sebuah ayat.
Dalam konteks seperti itulah Sirodjuddin melihat penggunaan kaligrafi Allah untuk album Laskar Cinta—yang melambangkan keagungan, kesucian, cinta kasih, kebajikan. Dalam seni kaligrafi, menurut Sirodjuddin, kata Allah sering kali diletakkan di tempat yang lebih mulia. Misalnya, ketika pada sebuah kalimat terdapat kata Allah, kata itu diletakkan lebih tinggi dari barisan kata yang lain. “Karena itu, menurut saya, sampul Dewa tak perlu diubah. Tapi harus hati-hati, jangan dipasang di sembarang tempat,” katanya.
Kaligrafi Allah yang dicomot Dewa memang indah, sebagaimana termuat dalam buku The Cultural Atlas of Islam karya Prof Ismail Raji al-Faruqi. Menurut Sirodjuddin, itu adalah kaligrafi kuno yang pelukisannya dengan cara mengulang lafal Allah sebanyak delapan kali, direka sedemikian rupa sehingga membentuk simbol bintang yang memancarkan cahaya. Jenis kaligrafi itu disebut kuffi murabba, kaligrafi kubisme, yang mula-mula berkembang di Kuffah, Irak.
Menurut Sirodjuddin, beragamnya reaksi terhadap Dewa bisa jadi disebabkan Islam yang masuk ke Indonesia berasal dari berbagai wilayah: Persia, Arab, India. Masyarakat muslim Persia mempunyai tradisi melukis, sehingga kaligrafi berkembang. Bahkan kaligrafi yang menggambarkan makhluk bernyawa, juga penggambaran para nabi, sangat lazim—hal yang terlarang bagi kalangan muslim di wilayah lain.
Lain halnya dengan masyarakat Arab, yang tradisi hafalannya kuat dibandingkan dengan tradisi tulis-menulis. Ketika datang, Islam membawa tradisi tulis-menulis sebagaimana diperintahkan Allah dalam wahyu pertama yang diterima Muhammad: iqra atau bacalah. Tradisi ini mengagetkan orang Arab, yang bahkan sampai sekarang pun mereka masih mengharamkan kaligrafi yang dilukis membentuk makhluk bernyawa.
Ribut-ribut pemakaian kaligrafi—untuk hal-hal yang dianggap tidak pada tempatnya—juga pernah terjadi sekitar 20 tahun silam. Ketika itu sejumlah organisasi Islam memprotes kaligrafi ayat Al-Quran pada sejumlah piring dan cangkir keramik dengan menganggapnya menghina Islam. Kejaksaan Agung lalu menghancurkan piring dan cangkir berkaligrafi itu. “Padahal,” kata Sirodjuddin, “bunyi kaligrafi itu anjuran untuk makan dan minum dari rezeki Allah.”
Agung Rulianto
02 Mei 2005


Apabila Artikel atau info dalam blog ini baik dan bermanfaat bagi anda, harap disebarkan
Leave A Reply

Your email address will not be published.