MEMPERTAHANKAN TRADISI VIA MKQ CABANG PENULISAN BUKU

0

Oleh: Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, MA*

 

 
Tulisan ini dimaksudkan hanya sekadar memberi catatan ringan yang mengantarkan pemahaman dasar tentang kaligafi murni yang menjadi bagian dalam Musabaqah Khat al-Quran (MKQ). Namun demikian, performance judul catatan ini sepintas lalu akan menimbulkan suatu pertanyaan mendasar: apa korelasi antara penyelenggaraan cabang Musabaqah Khat al-Quran (MKQ) pada Musabaqah Tilawatil al-Quran (MTQ) dengan upaya mempertahankan sebuah tradisi dalam khazanah seni kaligrafi Islam?
Penentuan judul tersebut didasarkan pada sebuah pertimbangan, bahwa telah terjadi dikotomisasi mendasar dalam wacana kaligrafi akhir-akhir ini. Saya sendiri terus terang belum menemukan secara meyakinkan landasan hukum atau dasar pijakan filosofisnya sehingga para pemikir dan praktisi kaligrafi mulai dari level amatiran-seperti saya-hingga tokoh sekaliber Ustadz Didin (sapaan akrab Drs. H.D Sirojuddin AR, M.Ag) membagi kaligrafi menjadi “murni” dan “tidak murni”, yang pada akhirnya kualifikasi kemurnian tersebut memunculkan dua kelompok besar (baca: mazhab) di kalangan kaligrafer yakni mazhab ‘salaf’ dan ‘khalaf’.
Mazhab yang pertama dinisbatkan kepada mereka yang keukeuh (konsisten) dengan kaidah-kaidah khat mu’tabaah (diakui dan baku) yang telah digariskan oleh para dedengkot-nya kaligrafi Arab tingkat dunia. Mereka-seperti Ibnu Muqlah, Ibnu Bawwab, Musthafa Raqim, al-Hafizh Utsman, Gazlan Bek, Muhammad ‘Izzat, Hamid al-Amidi, Sayyid Ibrahim, Hasyim Muhammad al-Bahdadi, dan lainnya-telah berjasa besar dalam penyempurnaan keindahan dan kehalusan kaligrafi al-Quran hingga kini. Bahkan buku Qawaid al-Khat al-Arabi karya Hasyim al-Baghdadi telah dijadikan (semacam) ‘kitab suci’ bagi para kaligrafer di Indonesia dan belahan dunia lainnya. Barang siapa yang melanggarnya, apalagi menggugatnya, jangan harap mendapat ‘berkah’ alias juara, baik di tingkat keluarga, RT, Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten/Kota, Provinsi, bahkan level Nasional (kemenangan hasil ‘KKN’ tidak termasuk dalam kategori ini).
Mazhab yang kedua dimaksudkan kepada para kaligarfer yang-entah karena faktor keawaman atau karena kejenuhan terhadap kaidah-kaidah khat yang ketat atau membelenggu melakukan pembaruan, bahkan meminjam istilah Ustadz Didin ‘pemberontakan’ melawan kemapanan kaidah mu’tabar yang telah menjadi ijma’ para kampiumnya kaligrafer.
Sebagian besar pengikut mazhab ini adalah para pelukis dan seniman yang sebelumnya tidak mengenal kaligrafi, bahkan tulisan Arab sekalipun, atau para pakar kaligrafi Arab yang mencoba keluar dari habitat dasarnya, kemudian membuat rumus-rumus baru yang nyleneh dari rumus-rumus baku yang telah disepakati lebih dari ‘tujuh turunan’ itu. Gerakan pemberontakan ini tidak menyebabkan mereka berdosa, sehingga menuntut mereka bertaubat dengan segera. Namun setidaknya mereka sebaiknya sungkem dan memohon maaf kepada para dedengkot yang telah disebut atas kelancangannya memporak-porandakan karya besar mereka, yang telah menjalani proses yang sangat panjang hingga mencapai kesempurnaan, yang bersama-sama kita nikmati sekarang. Pertanyaannya, haruskah kita kembali kepada masa ‘jahiliyah’-nya kaligrafi?
Atas dasar pemikiran itu, saya menganggap pencapaian para kaligrafer klasik berupa rumusan-rumusan atau kaidah-kaidah baku kaligrafi adalah bentuk orisinilitas dari seni kaligrafi Islam itu sendiri. Namun, meski sebaiknya memelihara orisinilitas, tetapi bukan berarti mematikan dinamika kaligafi. Karena dinamisasi seungguhnya dimaksudkan bukan untuk mementahkan tetapi justru semakin mempertajam sebuah pencapaian atau paling tidak memberi corak dan warna lain dengan tetap memegang tradisi yang orisinil dan otentik
Aspek orisinilitas (kemurnian) kaligrafi al-Quran, dengan demikian, juga dapat dilihat dari teknis sebuah karya dihasilkan. Aspek teknis yang saya maksud adalah keseluruhan perangkat yang mendukung kelahiran sebuah karya. Mulai dari peralatan sampai kepada cara penulisan harus menunjukan unsur tradisional. Di sinilah letak kemurnian yang saya maksud. Jadi tetap mempertahankan unsur tradisi. Maka dalam perspektif ini, perlombaan kaligrafi golongan “Penulisan Buku/Naskah” menjadi sangat relevan keberadaannya.

 
Kaligrafi Dalam MTQ
Saya menduga, berdasarkan pertimbangan di atas, Ustadz Didin-sebagai salah seorang pelopor masuknya kaligrafi sebagai cabang dalam MTQ-merasa berkepentingan untuk mempertahankan sekaligus memacu para generasi muda Islam dalam menekuni seni kaligrafi Islam murni yang paling bebas nilai (value free) ini. Oleh karenanya, gagasan cabang kaligrafi dilombakan dalam hingar- bingar persaingan MTQ adalah langkah yang sangat strategis dan positif dalam rangka mempertahankan kemurnian (orisinilitas) tersebut.
Musabaqah Khat al-Quran (selanjutnya disebut MKQ) mulai dilombakan berupa ekspedisi (uji coba) non-medali pada MTQ Nasional di Banda Aceh (sekitar tahun 1980-an). Sejak waktu, tidak hanya para qari-qariah atau hafiz-hafizah yang saling unjuk gigi menyuarakan kalam Allah, tapi para khattath pun bergaya menggores kalam Ilahi yang mulia itu.
Peraturan yang diterapkan, pada saat itu, belum menunjukan spesialisasi seperti sekarang. Dulu seorang khattath menulis tiga kategori sekaligus: Naskah, Hiasan, dan Dekorasi, maka dikenal istilah ‘Three in One”. Hampir dapat dipastikan, sebagian besar peserta mengeluhkan teknis yang semacam itu. Betapa tidak, untuk menjadi peserta dituntut memiliki tiga keahlian (skill) sekaligus-suatu tuntutan yang sulit dipenuhi.
Baru pada pelaksanaan MTQ Nasional di Bandar Lampung tahun 1988 (atau di Yogyakarta tahun 1991) konsep “Three in One” dihapus. Barangkali dengan mempertimbangkan profesionalitas (baca: spesialisasi) dan kesemarakan musabaqah. Di antara para khattath golongan penulisan Naskah yang telah menjuarai MKQ tingkat Nasional adalah Mahmud Arham (1991, Jawa Barat), Nur Aufa Soddiq (Jawa Tengah), Muhammad Noor Syukron (1994, Jawa Tengah), Ahmad Hawi Hasan (1997, Jawa Barat), dan Isep Misbah (2000, DKI Jakarta).
Hingga MTQ terakhir (2000) perkembangan peserta secara kualitas dalam cabang ini boleh dikatakan paling statis. Pada cabang Naskah, peserta lomba berkutat pada orang-orang yang sama, dan tentu saja, dengan kualitas tulisan yang tidak pernah beranjak jauh dari tahun-tahun sebelumnya. Berbeda halnya dengan dua cabang lainnya, hiasan mushaf dan dekorasi, keduanya mengalami perkembangan yang luar biasa. Dan, yang pasti keduanya menghasilkan jago-jago baru dengan nuansa karya yang juga berbeda.

 
Kriteria Karya yang Baik
Menyangkut anatomi huruf, Ibnu Muqlah telah merumuskan beberapa kriteria tulisan yang dianggap baik dan benar, di antaranya: (1) Tawfiyah (tepat), yakni setiap huruf mendapat usapan sesuai dengan bagiannya (lengkungan, kejuran, dan bengkokan); (2) Itmam (tuntas), yakni setiap huruf harus diberi ukuran yang utuh (panjang, pendek, dan tipis-tebal); (3) Ikmal (sempurna), yakni setiap usapan garis harus sesuai dengan keelokan bentuk yang wajar (tegak, terlentang, memutar, dan melengkung); (4) Isyba’ (padat), yakni setiap usapan garis harus mendapat sentuhan pas dari mata pena sehingga terbentuk suatu keserasian; (5) Irsal (lancar), yakni menggoreskan kalam secara cepat, tepat tidak tersandung atau tertahan, tidak mogok, dan bahkan tidak sampai membuat getaran tangan yang berakibat goresan yang kasar.
Tidak sekadar itu, dalam hal tataletak/tarkib (husn wadh’i) Ibnu Muqlah merumuskan pada empat kriteria bagus: (1) Tarshif (rapat teratur), yakni ketepatan sambungan antarhuruf; (2) Ta’lif (tersusun), yakni menghimpun setiap huruf yang terpisah (tunggal) dalam bentuk yang wajar namun indah; (3) Tasthir (selaras, beres), yakni menghubungkan suatu kata dengan yang lainnya sehingga membentuk garis yang selaras letaknya sampai membentuk mistar (penggaris); (4) Tanshil (pedang atau lembing), maksudnya meletakkan sapuan-sapuan garis memanjang yang indah pada huruf-huruf sambung.
Beberapa kriteria tersebut adalah gambaran idealitas sebuah karya. Semakin banyak kriteria yang terpenuhi, maka semakin elok karya yang dihasilkan. Mungkinkah? Mengapa tidak?
Dalam konteks MTQ, kriteria karya yang bagus agak cenderung subyektif-kalaulah mau dibilang seperti itu, terutama jika dewan hakim yang menilai tidak memiliki wawasan yang memadai tentang gaya-gaya dan aliran khat. Semakin sempit wawasan yang dimiliki, maka semakin subyektif dalam penilaian. Di Indonesia, standarisasi penilaian anatomi huruf dinisbatkan pada rumus-rumus Hasyim Muhammad al-Baghdadi dalam magnum opus-nya. Apa sebab? Oleh sementara orang, rumusan Hasyim dianggap yang paling konsisten dan tak terbantahkan. Bagaimana dengan tingkat keindahannya? Sulit dijawab!
Terlepas dari semua itu, dalam menghadapi suatu perlombaan, seorang peserta setidaknya harus mempersiapkan tiga hal: Pertama, menyangkut teknis, di antaranya peralatan yang memadai, latihan yang berkualitas, mempertajam/mengasah kaidah yang mu’tabar, mendalami keragaman gaya/karakter para khattath dunia, memahami kecenderungan juri, dan lain sebagainya.
Kedua, menyangkut kesiapan fisik. Mengingat MKQ memerlukan waktu yang panjang dan tenaga yang tidak sedikit, maka seorang peserta diharapkan mempersiakan fisik dengan sebaik-baiknya. Untuk mendapat kondisi tubuh yang prima dapat ditempuh melalui olah raga, istirahat yang cukup, dan makan yang bergizi. Mengabaikan kesiapan fisik akan berakibat fatal tehadap kualitas karya, bahkan berakibat yang lebih jauh dari itu.
Ketiga, menyangkut kesiapan mental. Dengan banyaknya aturan atau suasana yang sangat menegangkan, peserta dituntut memiliki mental yang bagus, atau dalam bahasa populer harus bermental juara. Seorang bermental juara akan dapat mengatasi suasana setegang apapun dan mencekam sekalipun, sehingga dia dapat melakukan tugasnya dengan tenang dan yakin. Ketegangan yang memuncak akan sangat berpengaruh dengan karya yang dihasilkan. Untuk mendapatkan mental yang baik, seorang peserta harus mempersiapkan dengan baik. Persiapan yang cukup akan membangkitkan PD, dan yang terpenting semakin banyak jam terbang, maka semakin tentang dalam berlomba.

 
Teknis Musabaqah
Musabaqah Khath al-Quran (MKQ) adalah jenis lomba yang menekankan pada kaidah khat, keindahan, dan kebenaran kaidah Rasm Qur’ani (Usmani). Cabang yang dilombakan meliputi golongan Naskah, Hiasan Mushaf, Dekorasi. Lomba ini dapat diikuti oleh pria atau wanita dengan batas umur 35 tahun.
Sedangkan materi yang dilombakan dalam golongan naskah adalah ayat-ayat al-Quran Rasm Usmani standar Indonesia yang ditentukan pada saat musabaqah dmulai. Peserta diharuskan menguasai jenis-jenis khat berikut ini: Naskhi, Tsulutsi, Diwani, Farisi, Riq’ah, dan Kufi. Media yang digunakan adalah kertas Manila putih dan warna lain berukuran 80X60cm.
Adapun tahapan pelaksanaan lomba dapat diamati dalam fase-fase berikut ini:
  1. Babak penyisihan
    1. Penentuan materi akan dilakukan pada saat acara akan dimulai, dengan: (a) materi khat berupa ayat-ayat al-Quran yang diberikan secara tertulis (b) jenis khat yang dilombakan yakni wajib (naskhi) dan pilihan (non naskhi)
    2. Perlengkapan untuk penulisan diberikan setelah para peserta duduk di meja masing-masing
    3. Peserta menempati meja tersendiri sesuai dengan nomor; karya dibuat pada saat musabaqah berlangsung; istirahat tidak dilakukan secara serempak tetapi diatur oleh masing-masing peserta; tempat istirahat peserta adalah tempat yang khusyu’ dan tenang dari gangguan pengunjung
    4. Khat dibuat dengan mata pena berukuran 0.5 cm di atas kertas Manila; khat wajib ditulis di atas karton putih dengan tinta hitam; khat pilihan ditulis di atas kertas berwarna bebas dengan menggunakan tinta hitam juga; waktu menulis disediakan 180 menit, termasuk istirahat.
      Bagi peserta yang terlambat menyelesaikan karya, akan diberi tambahan 15 menit, dengan sanksi pengurangan nlai 1/10 dari nilai seharusnya. Contoh, peserta seharusnya dapat nilai 80, karena terlambat maka 80-(1/10X80)=72
  2. Babak Final
    Pelaksanaan final sama dengan babak penyisihan dengan perbedaan semua materi tidak diberikan secara tertulis, tapi di-imla’-kan.
Kriteria Penilaian
Norma penilaian dalam MKQ adalah ketentan penilaian hasil karya peserta, yang meliputi: [1] Bidang kebenaran kaidah khat (nilai maks. 60), dengan materi (a) bentuk dan proporsi huruf (nilai maks. 30); (b) jarak spasi dan letak huruf (nilai maks. 15); (c) keserasian dan komposisi antarhuruf (nilai maks. 15)
[2] Bidang keindahan khat (nilai maks. 40), dengan materi (a) kekayaan imajinasi (nilai maks. 25), dan (b) kebersihan dan kehalusan (nilai maks. 15)
Adapun ketentuan penilaian meliputi dua kesalahan, yakni [1] Kesalahan berat (tsaqil) minus 2, seperti pengurangan satu atau beberapa kata, pengurangan satu atau beberapa huruf, pengurangan nibrah atau gigi sin, kesalahan tataletak huruf dan titik, kelebihan titik, menyalahi kaidah khattiyah (campur aduk), dan menyalahi Rasm Usmani
[2] Kesalahan ringan (khafif) minus 1, seperti inkonsistensi spasi antarhuruf, penempatan harakat yang kurang harmonis atau ada harakat yang tertinggal, menempatkan hiasan (zukhrufiyah) secara berlebihan, kertas kotor dan rusak, tulisan tidak sesuai dengan format yang tersedia.
Saya rasa cukup untuk sebuah pengantar. Semoga menjadi pengetahuan awal tentang mekanisme perlombaan, khususnya golongan Naskah, meskipun Anda tidak harus menjadi juara. Tapi kalaupun Anda menjadi juara, mengapa tidak? Amin ya robbal amin.

 
*Ketua Departemen Pembinaan Minat dan Bakat (Depbinkat) Lemka Jakarta, staf pengajar Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 
Apabila Artikel atau info dalam blog ini baik dan bermanfaat bagi anda, harap disebarkan
Leave A Reply

Your email address will not be published.