IBNU KHALDUN DAN KALIGRAFI ARAB (1)

0

Oleh: Iman Saiful Mu’minin

 
Saya baru saja membaca kitab Muqaddimah Ibnu Khaldun. Kitab tersebut merupakan produk pemikirannya berupa kumulan kajian tentang kemasyarakatan, kenegaraan serta filsafat sejarah yang diberinya nama agak panjang, Kitab Al-‘Ibar wa Diwan Al-Mubtada wa Al-Khabar fi Ayyam Al-Arab wa Al-Ajam wa Al-Barbar wa man ‘Asharahum min Dzawi As-Sulthan Al-Akbar. Mungkin karena panjanngnya judul ini atau karena jilid pertamanya berjudul Muqaddimah, lalu orang menyebutnya Muqaddimah Ibnu Khaldun.

 
Buku ini diakui sebagai karya monumental dan cukup unggul dalam deretan karya para pemikir muslim dan Barat dalam bidang sosiologi dan filsafat sejarah. Untuk itu, Ibnu Khaldun dikenal sebagai Bapak Sosiologi dan Sejarawan Muslim. Selain kitab Muqadimah, Ibnu Khaldun juga menulis sejumlah kitab terkenal, yaitu At-Ta’rif bi Ibni Khaldun, sebuah autobiografinya catatan dari kitab sejarahnya.

 
Pemikiran Ibnu Khaldun tentang sosiologi dan politik tidak saja menjadi bahan kajian para pemikir dan cendekiawan muslim di Timur, tetapi di dunia Barat pun pemikiran tersebut masih senantiasa digulirkan dalam wacana percaturan sosial politik kontemporer. Hal ini tidaklah aneh, mengingat pemiriran dan sepak terjang Ibnu Khaldun diakui oleh para ulama sezaman dan sesudanya. Dan bahwa tulisan-tulisan yang ada dalam kitab karyanya, temasuk Muqaddimah, mengungkapkan problematika yang masih aktual. Di antaranya mengenai kaligrafi Arab (khat). Ibnu Khaldun memandang bahwa khat atau tulisan indah merupakan bagian dari keterampilan manusia yang dapat dibedakannya dari hewan.

 
Oleh karena ia bagian dari keterampilan, maka untuk memperolehnya adalah harus ditunjang oleh pembelajaran (ta’alum), adanya sarana perkumpulan atau organisasi (semacam sanggar), kemajuan dan harus berdomisii di kota. Sebab kota, menurutnya, terdapat sejumlah sarana keterampilan lain yang menunjang berkembang pesatnya kaligafi Arab, seperti ketersediaan peralatan yang komplit dan modern. Maka, Ibnu Khaldun menyimpulkan bahwa kebanyakan orang pelosok, pedalaman atau kampung itu tidak dapat menulis dan membaca dengan baik. Mereka belajar menulis menggunakan peralatan seadanya, dan hal ini yang menjadikan mereka tertinggal dari teman-temannya yang berdomisili di kota. Ibnu Khaldun juga berkesimpulan bahwa pengajaran kaligrafi Arab yang berada di kota-kota besar yang berkembang pesat sejumlah sarananya, itu lebih mudah diterapkan metode dalam pembelajarannya. Beliau mencontohkan negara Mesir, terutama ibu kotanya, Kairo. Di sana para pengajarnya berkompetensi dan mumpuni dalam bidang kaidah dan hukum kaligrafi.

 
Ternyata benar, di kota-kota besar lair sejumlah kaligrafer terkenal sekelas Abu Hasan Ali bin Hilal, yang dikenal dengan nama Ibnu Bawwab, kelahiran Baghdad, dan Ibnu Muqlah, seorang menteri yang tinggal di Baghdad pula. Dan sejumlah kaligrafer lain yang lahir dan tinggal di kota Kufah, Basrah, Kairo, Istamul, Andalusia, sehingga nama jenis khat kadang diambil dari nama kota tempat mula lahirnya.

 

Dus, ide dan pemikran Ibnu Khaldun di atas tidaklah melesat. Kaligrafi Arab yang berkembang di Indonesia pun titik pusatnya berada di jantngnya, Jakarta. Maka para kaligrafer yang berada di luar kota pun kini mau tidak mau harus melirik ke pusatnya, Jakarta. Semua itu logis, bukan? Wallahu a’lam.

Apabila Artikel atau info dalam blog ini baik dan bermanfaat bagi anda, harap disebarkan
Leave A Reply

Your email address will not be published.