HERMENEUTIKA

0

Oleh: Iman Saiful Mu’minin
    
Pernah terjadi suatu perdebatan berat dalam Muktamar NU di Asrama Haji Donohudan Jawa Timur. Perdebatan tersebut berlangsung dalam ruangan khusus Bahsul Masail, suatu tradisi ilmiah yang membahas persoalan-persoalan keagamaan yang digadang oleh para utusan ulama, kiai ataupun santri dari masing-masing pesantren seluruh Indonesia secara temporer. Dalam Bahsul Masail kali ini perdebatan menyoal kajian hermeneutika, apakah bisa dimasukkan ke dalam materi kurikulum pesantren ataupun sebatas wacana yang diharapkan dapat membuka wawasan tambahan bagi santri dalam bidang ulumul Quran.

 
Seorang santri Pesantern Lirboyo bernama Muhib Aman Ali mempertanyakan kajian hermeneutika kepada pimpinan sidang yang di ketuai Dr. Said Aqil dan Dr. Machasin, dosen sastra Arab UIN Yogyakarta. Apakah layak kajian hermeneutika dimasukkan ke dalam kurikulum pesantren, padahal “barang impor” itu dianggap sebagai produk pemikiran para pakar Filsafat Barat, dan pantaskah pula hermeneutika ini dapat menggantikan metode tafsir tradisional yang sudah mapan dan menjadi standar baku dalam mengkaji al-Quran secara komprehensif? Tentu dalam kajian hermeneutika sendiri, sebagian peserta Muktamar NU tersebut tidak memahami betul apa itu hermeneutika.

 
Istilah dan Sejarah Kelahiran Hermeneutika
Sebelum jauh membahas tentang hermeneutika, ada baiknya kita mengenal terlebih dahulu apa itu hermeneutika. Secara etimologi, istilah hermeneutika berasal dari bahasa Yunani kuno: ta hermeneutika, yang berarti hal-hal yang berkenaan dengan pemahaman dan penerjemahan suatu pesan. Kata hermeneutika juga satu derivasi dengan kata “Hermes’. Konon dalam tradisi kitab suci, Hermes dianggap sebagai juru tafsir Tuhan. Sosok Hermes ini oleh Sayyed Hossen Nasr diasosiasikan sebagai Nabi Idris. Maka pengertian hermeneutika adalah suatu ilmu, metode, dan teknik memahami suatu pesan atau teks.

 
Adalah Friedrich Schleiermacher, seorang teolog Protestan, yang pertama kali memperluas wilayah hermeneutika dari sebatas teknik interpretasi kitab suci menjadi hermeneutika umum yang mengkaji prasyarat atau kondisi-kondisi apa saja yang memungkinkan terwujudnya suatu pemahaman atau penafsiran yang betul dari sebuah teks. Bagi dia, semua teks harus diperlakukan sama, tidak ada yang perlu diistimewakan, tak peduli apakah itu kitab suci atau teks hasil karangan manusia biasa.

 
Kemudian, disusul oleh pemikir Jerman, Dilthey yang menggagas historisitas teks, bahwa seorang pembaca teks, harus bersikap kritis terhadap teks beserta konteks sejarahnya. Pemahaman kita akan suatu teks, menurutnya, ditentukan oleh kemampuan kita mengalami kembali dan menghayati isi teks tersebut. Pemahaman ini satu pendapat dengan Gadamer, filosof kelahiran Jerman, yang menyatakan bahwa setiap memahami sebuah teks, baik itu kitab suci ataupun teks lainnya, masih mengandung nilai relatif dan tentatif kebenarannya, senantiasa boleh dikritik dan ditolak.

 
Lebih ektrem lagi adalah pendapat Jurgen Habermas. Dia berpendapat bahwa hermeneutika bertujuan membongkar motif-motif tersembunyi dan kepentingan terselubung yang melatarbelakangi lahirnya sebuah teks. Sebagai kritik ideologi, hermeneutika harus bisa mengungkapkan manipulasi, dominasi, dan propaganda di balik bahasa sebuah teks, segala sesuatu yang mungkin telah mendistorsi pesan atau makna secara sistematis.

 
Hermeneutika Al-Quran?
Metode hermeneutika ini sebenarnya sesuatu yang lumrah dalam kajian filsafat, sejarah, dan filologi, sebuah kajian ilmiah yang meneliti tentang kajian naskah kuno. Melainkan, bahwa kajian hermeneutika ini menjadi bermasalah ketika ia dihadapkan kepada teks al-Quran, bahkan diusung untuk mencabut substitusi tafsir yang telah diciptakan dan dijabarkan secara komprehensif oleh para ulama terdahulu. Hal ini, karena al-Quran telah dimaklumi adalah wahyu Tuhan yang kata dan makna seluruhnya berasal dari Allah Swt. Ketika al-Quran sudah dianggap sebagai kalam Ilahi, apakah bisa para penafsir memasuki dan menyamai alam pikiran pembuat teks, yang dalam hal ini adalah Tuhan? Atau mungkinkah secara etika si penafsir dapat bersikap kritis atau menjegal maksud dan kehendak Tuhan?

 
Maka dari kajian di atas, kita dapat menyimpulkan, bahwa pertama, hermeneutika menganggap semua teks adalah sama, semuanya merupakan karya manusia. Teks yang semula dianggap suci seperti kitab al-Quran dan kitab-kitab agama samawi lainnya, kemudian diragukan keasliannya. Kedua, hermeneutika menganggap setiap teks sebagai ‘produk sejarah dan budaya’ manusia. Dalam bingkai hermeneutika, al-Quran jelas tidak mungkin dipandang sebagai wahyu Tuhan, tetapi ia merupakan muntij hadhari (produk budaya) atau setidaknya wahyu Tuhan yang dipengaruhi oleh budaya Arab, yakni budaya di mana wahyu diturunkan. Padahal maksud hermeneutika adalah sebenarnya ditujukan bukan untuk kajian keislaman. Ia adalah produk teologi Protestan, yang dipakai untuk mengkaji Bibel oleh Schleiermacher, dan Gadamer untuk kajian kesusasteraan Jerman maupun Klasik. Yang dimaksud teks oleh mereka adalah karya tulis buatan manusia. Hermeneutika menghendaki pelakunya untuk menganut paham relativisme epistemologi. Tidak ada tafsir yang mutlak benar, semuanya relatif benar dan salah.

 
Maka tidaklah aneh, ketika kita banyak menjumpai para intelektual Islam yang berpendapat nyeleneh dalam hal ini. Mereka menghendaki al-Quran ditafsirkan melalui kajian hermeneutika, baik kata, makna maupun pembuat teks itu sendiri. Lihat saja misalnya pengusung hermeneutika di dunia Arab, Nasr Hamid Abu Zayd. Dia menempatkan posisi Nabi Muhammad Saw sebagai pengarang al-Quran dan menyebut al-Quran sebagai produk budaya. Maka sebenarnya dia telah melepaskan al-Quran dari posisinya sebagai kalam Allah yang suci. Mengenai hermeneutika ini, saya ambil contoh pendapat yang nyeleneh dari seorang pemikir muda Islam (alumni sebuah pesantren di jawa Tengah):

 
“Dalam konteks ini, anggapan bahwa al-Quran itu suci adalah keliru. Kesuciaan yang dilekatkan pada al-Quran adalah kesucian palsu. Tidak ada teks yang suci. Setiap teks memiliki keterbatasan sejarah. Karena itu, setiap generasi selalu muncul agen-agen sejarah yang merestorasi sebuah teks. Musa, Jesus, Muhammad, Sidharta, Lao Tze, Konfusius, Zarasthutra, Marten Luther dan lainnya adalah sebagian contoh dari agen-agen sejarah yang melakukan restorasi teks”(Sumanto Qurtuby, Lobang Hitam Agama, h. 67)

 
Memahami pendapat Sumanto Qurtubi di atas, al-Quran telah dicap sebagai kitab agama yang tidak mengandung nilai kesuciannya, sebagaimana kitab-kitab atau teks-teks tulisan tangan manusia.


 

Maksud hati mengusung pemahaman yang mereka anggap orsinil dan modern tapi apa daya tangan mereka sendiri terjepit dalam himpitan budaya latah, sehingga pemikiran mereka ditentang oleh maenstream ulama dan intelektual Muslim. Bahkan, dalam Muktamar NU di asrama haji itu kajian hermeneutika yang akan menggantikan metode tafsir tradisional yang telah mapan, disepakati tidak boleh dimasukkan ke dalam kurikulum pesantren. Alhamdulillah

Apabila Artikel atau info dalam blog ini baik dan bermanfaat bagi anda, harap disebarkan
Leave A Reply

Your email address will not be published.