Tentang Lemka
A. Sejarah Pendirian Lembaga
Ide pertama untuk mendirikan Lemka berasal dari Drs. D. Sirojuddin AR. Dimulai dari keinginan yang sebetulnya mirip khayalan, untuk mendirikan semacam organisasi atau lembaga untuk mengembangkan seni menulis halus Arab atau khat yang jadi kegemarannya. “Khayalan” itu muncul pada tahun 1975, ketika Sirojuddin bersiap-siap menamatkan masa belajar enam tahun sebagai santri Pondok Modern Gontor. Barulah pada tahun 1985 sebuah wadah yang diinginkannya lahir. Jadi, rentang waktu antara keinginan sampai sebuah cita-cita itu terkabul menempuh waktu selama 10 tahun!
Tahun 1976 resmi manjadi mahasiswa Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Keinginan itu bertambah kuat, setelah ternyata di Jakarta lebih leluasa menyalurkan bakat menulis khatnya di pelbagai penerbitan dan badan-badan lain. Tetapi, sampai menamatkan kuliah pada 1982, khayalan masih tetap sebagai khayalan. Meskipun telah diusahakan mencari teman-teman sesama khatat (para penulis khat) untuk sepakat membuat wadah “tempat bernaung”, gagasan itu samasekali tidak menarik perhatian mereka. Mencari kawan-kawan yang kurang commit terhadap kaligrafi, lebih mustahil lagi. Namun, rasa penasaran masih terus bergolak. Sementara itu, melukis dan melukis “hanya untuk diri sendiri” terasa membosankan, meskipun diakuinya telah menghasilkan banyak uang.
Setahun kemudian, 1983, ada panggilan mengajar pada mata kuliah (yang secara kebetulan adalah) kaligrafi. Dengan demikian, dosen kaligrafi di Fakultas Adab menjadi dua orang, sebelumnya adalah Prof. H.M. Salim Fachry. Khusus dalam mata kuliah kaligrafi, Sirojuddin adalah mahasiswa kesayangan Prof. H.M. Salim Fachry, karena tulisan tangannya lebih bagus dibandingkan goresan tangan kawan-kawannya. Untuk ini, Sirojuddin berkomentar: “Tentu saja, karena kawan-kawan saya tidak berbakat menulis khat.”
Masa mengajar pada tahun-tahun pertama kerap dipenuhi kebingungan, karena tidak adanya petunjuk pelaksanaan dan BCO (Basic Course Outline) yang jelas. Sedangkan pengetahuan tentang sejarah kaligrafi, demikian diakui sendiri oleh Sirojuddin, samasekali tidak dimilikinya karena pada waktu itu buku-buku mengenai kaligrafi sulit didapat dan masalah semacam itu belum dipopulerkan. Diberi kesempatan mengajar kaligrafi seharusnya dijadikan peluang untuk segera memproklamirkan cita-cita itu.Kenyataanya, malah membuat suasana tambah rikuh.
Di tahun ’83 itu, Sirojuddin bersama Prof. H.M. Salim Fachry dan Ustaz K.H.M. Abd. Razzaq Muhili al khattat dari Tangerang sama-sama diangkat menjadi Dewan Hakim Sayembara Kaligrafi MTQ Nasional ke-13 di Padang. Kedua orang tersebut terakhir adalah guru-gurunya Sirojuddin. Abd. Razzaq dikenal sebagai penulis khat professional paling terkemuka di Indonesia yang goresan tangannya terentang di antara ratusan buku agama di Tanah Air. Sedangkan Salim Fachry adalah penulis Al Qur’an Pusaka atas pesanan almarhum Presiden Soekarno. Saat terbang di pesawat menuju Padang, keinginan Sirojuddin itu dikemukakan kepada kedua gurunya itu yang serta merta disambut ucapan “Alhamdulillah”. Bahkan, Salim Fachry kemudian mengatakan, bahwa sesungguhnya ia pun sudah lama menginginkan adanya asosiasi para khattat, tapi bagaimana mewujudkannya? Adanya ide dari Sirojuddin itu membuat hati dan pikiran Salim Fachry terbuka, bahkan ia merasa kembali bersemangat, setelah sekian puluh tahun meninggalkan pendidikan (antara lain pendidikan kaligrafi di Madrasah Tahsinul Khutut) di Kairo, gagang-gagang kalamnya terbungkus di sebuah box kayu dan tidak diguriskan lagi. Ia mendesak Sirojuddin untuk segera melaksanakan rencana itu. Sayang, rencana itu, lagi-lagi, terlantar sampai dua tahun kemudian.
Bukan karena “salah bunda mengandung” kalau rencana itu berulang-ulang tertunda. Pasalnya, terkait dengan: siapa-siapa saja orang-orang yang akan dihimpun dan bagaimana teknisnya? Apa program yang akan dilaksanakan? Siapa tutor-tutor kaligrafi kita? Ke mana sayap organisasi harus dikembangkan? Setelah gagasan itu mulai marak dan berbunga, kesulitan untuk memetik dan menerapkannyalah yang muncul. Jika organisasi itu lahir, bagaimana mekanisme kerjanya, padahal waktu itu Prof. H.M. Salim Fachry yang berusia lebih 80 tahun sudah mulai uzur, K.H.M. Abd. Razzaq sendiri sudah mendekati 70 tahunan. Di Jakarta, mencari khattat-khattat muda yang berpengalaman dalam organisasi juga sulit.
Sambil menunggu adanya jalan keluar, Sirojuddin iseng-iseng menyusun diktat kuliah kaligrafi. Modalnya: dari tidak tahu samasekali “hakekat” kaligrafi. Ia mondar-mandir dan meminjam beberapa buku refrence kepada K.H.M. Abd. Razzaq di Tangerang. Di luar dugaan, diktat yang direncanakan maksimal 50 halaman, berkembang tak terkendali sampai 430 halaman. Di situ ia menghentikan karangannya. Dari luasnya isi diktat itu, ada kesimpulan sangat penting yang jadi renungan: bahwa kaligrafi itu sangat filosofis dan strategis untuk dikembangkan. Kejutan selanjutnya, ketika diktat itu iseng-iseng dilemparkan ke penrbit (Pustaka Panjimas, Jakarta), kemudian dicetak 5.000 eksemplar, ternyata habis dalam 7 bulan saja. Akhirnya Sirojuddin semakin yakin, bahwa massa yang akan digarap memang benar-benar ada, dan mereka benar-benar menunggu pembinaan, terbukti dari puluhan surat yang diterimanya yang mengeluh tentang sulitnya mengembangkan bakat di daerah.
Tidak ada lagi yang harus ditungu. Kali ini Sirojuddin terpaksa “nekad”. Caranya sangat sederhana. Di malam hari dibuat coret-coretan tata tertib dan acuan job alakadarnya, hanya dua lembar. Seorang mahasiswanya yang paling akrab kepadanya karena sering meminjam buku, bernama Ece Abidin, dipanggil menghadap. Ece, kelahiran Sukabumi, pada waktu itu baru duduk di semester II Fakultas Adab Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam. Ece disuruh menghubungi kawan-kawan sekelasnya yang telah ditentukan untuk menjalin aliansi kerjasama. Diskusi antar dua orang ini terjadi di malam menjelang bulan sabit 24 Rajab 1405 Hijriyah atau 15 April 1985. Semula kawan-kawan Ece menyatakan gamang, karena sadar tahu apa mereka tentang kaligrafi. Tapi, Ece yang membawa pesan gurunya itu meyakinkan dengan penuh semangat, bahwa yang penting organisasi itu terbentuk dahulu. Soal nanti, jangan dipusingkan sekarang. Sementara Ece melobi kawan-kawan mahasiswanya yang belum berpengalaman organisasi itu, Sirojuddin merancang rencana-rencana lebih lanjut.
Pada tanggal 17 April 1985 (26 Rajab 1405 H), semua komponen pengurus siap menerima “gagasan besar” tersebut, dan hari itu pula ditentukan sebagai hari dan tanggal kelahiran Lemka. Kemudian pada tangal 20 April 1985 (29 Rajab 1405 H), Dekan Fakultas Adab IAIN Jakarta Drs. Abd. Muthalib Sulaiman, memberikan pengukuhannya di ruang siding Fakultas Adab. Selain Pengurus Harian yang diketuai oleh Drs. D. Sirojuddin AR, hadir pada pertemuan itu Prof. H.M. Salim Fachry yang kemudian menjabat sebagai Pembina Utama. Sedangkan K.H.M. Abd. Razzaq Muhili berhalangan. Acara bersejarah tersebut diliput wartawan Panj Masyarakat Moh. Nazi yang memuatnya pada majalah edisi ke-466.
Sangatlah luar biasa, bahkan “setengah aneh” sebuah lembaga yang diperuntukkan bagi pembinaan penyandang bakat “se-Tanah Air” hanya dikendalikan oleh para Pengurus yang terdiri dari seorang dosen muda dan para mahasiswa tingkat I. pada waktu itu, semuanya berkomentar: “Benar-benar langkah nekad!”
Oleh Ketua Lemka, para mahasiswa pengurus angkatan pertama itu dianggap sebagai orang-orang yang berjasa “memberi kekuatan moral”, sehingga asosiasi yang semula hanya merupakan khayalan pribadi wujud jadi kenyataan dan milik bersama. Selengkapnya, nama-nama para mahasiswa itu adalah:
- Ece Abidin
- M. Hamid Ibrahim
- Badriati Ikhwan
- Azizi Ahmad Ghazali
- Zhahir Gustiri
- Ibnu Ahmad
- Nani Nur’aini
- Rd. Siti Sa’adah
- M. Amin Anwar
- Liga Bukra
- Darta
- M. Nur Muvid
- Mudrik Qori Indra
Empat hari setelah pengukuhan, yaitu tanggal 24 April 1985 (4 Sya’ban 1405 H), berhasil disusun AD/ART Lemka dengan Tim Perumus: Drs. D. Sirojuddin AR, Badri Yatim, Asep Usman Ismail, Ece Abidin, Mudrik Qori Indra dan Fuad Jabali. Lima nama tersebut tekahir adalah para mahasiswa Fakultas Adab IAIN Jakarta. Setelah itu komposisi Pengurus pun mulai disempurnakan.
B. Nama dan Tujuan Lembaga
Nama yang mula-mula direncanakan adalah Poros Kaligrafi Ciputat. Tetapi, ketika disingkat menjadi PKC, timbul kesan yang sangat buruk. Apalagi di Indonesia, singkatan PKC adalah Partai Komunis Cina. Selain itu, kata-kata Ciputat memberikan gambaran yang eksklusif. Mulanya, Ciputat, memang, diharapkan menjadi pusat pengembangan gagasan di atas.
Di suatu sore tanggal 18 April 1985, Sirojuddin kedatangan tamu, yaitu Amin Nurdin dan Badri Yatim, keduanya adalah kawan-kawannya semenjak di pesantren. Setelah mengutarakan nama itu, mereka pun menunjukkan ketidaksetujuannya. Lahirlah nama Lembaga Kaligrafi Islam. Tetapi, nama itu akan memberikan beban terlalu berat, mengingat nama Islam terlalu agung dan bisa meluas. Setelah diajukan satu nama lagi, Lembaga kaligrafi Al Qur’an, Badri dan Amin setuju. Diuraikan oleh Sirojuddin tentang alasan mengambil kata “Al Qur’an” tersebut, yaitu: “Al Qur’an sebagai sumber etika, ketika seorang khattat menggoreskan kaligrafi Arab.” Jadi, olahannya adalah kaligrafi Arab, etika pengolahannya bersumberkan kepada akhlak Al Qur’an. Dengan demikian, seorang khattat atau kaligrafer akan selalu dikontrol dan di bawah perlindungan gagasan, ilham penciptaan, estetika dan ajaran-ajaran yang terpantul dari bias keinginan Al Qur’an. Dalam ungkapan yang lebih sederhana lagi: Seorang khattat atau kaligrafer haruslah berakhlak baik, berbudi pekerti luhur, saleh dan berkarya untuk keagungan agama sesuai ajaran-ajaran yang tertuang dalam Kitab Suci Al Qur’an.
Lembaga Kaligrafi Al Qur’an, mula-mula, disingkat menjadi Lekar. Tetapi dikhawatirkan mengingatkan orang kepada Lekra, sebuah organisasi kesenian underbow PKI di zaman Orde Lama. Lalu berubah kepada LKI dan akhirnya menjadi Lemka. Setelah menemukan kata yang pas ini, ketiga sobat tersebut saling menjabat tangan sangat kencang sekali.
Saat pengukuhan Lemka berlangsung, 20 April 1985, tujuan Lemka dipaparkan dengan jelas tanpa ragu-ragu lagi, yaitu: “Pengembangan bakat dan pengenalan khazanah Islam” dengan usaha-usaha antara lain “Mempercepat proses pemasyarakatan seni menulis khat atau kaligrafi kepada seluruh lapisan masyarakat, khususnya masyarakat muda, di tanah Air.”
C. Status Lemka
Saat Lemka dicanangkan, tidak terpikirkan bahwa di Fakultas Adab telah ada Senat Mahasiawa, sebagai satu-satunya lembaga kemahasiswaan yang sah. Pada waktu pengukuhan oleh Dekan Fakultas Adab, 20 April 1985, seorang anggota Sema Fakultas Adab bernama Ade Asnawi langsung mempertanyakan status kedudukan Lemka di Fakultas, apakah Lemka jadi bagian penuh dari Senat Mahasiswa ataukah sebagai lembaga otonom penuh atau semi otonom. Mengingat tujuan yang ingin diraih Lemka terlalu besar, bahkan di antaranya melampaui job-job senat, maka Lemka ditempatkan pada Unit Khusus yang diberi kebebasan membuat dan melaksanakan sendiri sistem kepengurusan dan program-programnya.