Abad 14-15 M dan terutama abad 16 M adalah perkiraan munculnya sastra Melayu Islam dan sastra Jawa Islam. Saat itu agama Islam mendapat dukungan kekuasaan politik di Samudera Pasai, Malaka, dan kota-kota pesisir Sumatera seperti Barus dan Perlak; sedangkan di kawasan Jawa melalui kerajaan Pajang dan Mataram. Di abad ke-16 M juga Islam telah jadi lambang penyatuan kerajaan-kerajaan Banten, Cirebon , dan dari Demak hingga kesultanan Mataram. Karena ajaran Islam pada mulanya disampakan melalui karya sastra, maka karya sastra tumbuh menjadi fondasi kebudayaan Islam di nusantara dengan sokongan kekuasaan negara.
Bentuk karya sastra Islam permulaan di kawasan Melayu merupakan saduran dari naskah-naskah Arab Persia (mencakup kisah para nabi, kisah Nabi Muhammad saw, kisah wali-wali, hikayat pahlawan Islam, hikayat bangsawan Islam, sastra kitab, dan sastra adab). Lama-kelamaan unsur-unsu Islamnya menjadi dominan, misalnya dengan penggantian sebutan Dewa Raya menjadi Allah swt atau dimasukkannya nama-nama nabi seperti Khidir dan Sulaiman sebagai bumbu cerita. Barulah di abad 16-17 M yang disebut zaman peralihan atau zaman Abdullah bin Abdul Kadir al-Munsyi (yang mempertahankan unsur-unsur budaya lama yang disesuaikan dengan nilai-nilai Islam), di belahan utara Pulau Sumatera muncul para penulis sufi terkemuka seperti Hamzah Fansuri (akhir abad 16-awal abad 17), Syamsuddin Pasai atau Syekh Syamsuddin bin Abdullah as-Sumatrani (w 1039 H/1630 M), dan Nuruddin ar-Raniri (w 1069 H/1658 M).
Sastra Islam Melayu atau Jawa di masa ini menggambarkan faham atau ajaran Islam yang menyebar di Indonesia , yaitu tasawuf ortodoks yang dipengaruhi ajaran Imam Al-Ghazali terutama yang tertuang dalam kitabnya Ihya ‘Ulum al-Din yang banyak dirujuk di pesantren-pesantren. Dalam sastra Melayu Islam seperti karya Hamzah Fansuri semisal Asrar al-‘Arifin, Syair Perahu, Syair Dagang, Syair Si Burung Pingai, atau karya-karya Ar-Raniri seperti Tibyan fi Ma’rifati al-Adyan, Shirot al-Mustaqim, Bustan al-Salatin, dan karya-karya Syamsuddin Pasai Mir’at al-Iman, Mir’at al-Mu’minin, dan lain-lainnya secara jelas melukiskan bahwa Islam yang masuk melalui Aceh didominasi ajaran tasawuf yang heterodoks atau cenderung ke pantheisme dan menganut faham immanensi Tuhan dalam diri manusia dan alam semesta.
Sementara di Jawa, hasil pergulatan Islam dengan sastra budaya Jawa melahirkan dua bentuk sastra Jawa. Yakni, sastra Jawa pesantrenan dan sastra Islam kejawen, di samping sastra Arab pesantren. Yang paling kaya adalah sastra Islam kejawen, karena para pemikir dan sastrawannya lebih didominasi para priyayi Jawa, karenanya muatan politik dan mistiknya lebih kental dibandingkan muatan agamanya di mana konsep manunggaling kawula-Gusti yang mewarnai puncak sastra Jawa Islam telah melahirkan para sastrawan Jawa, yang terbesar di antaranya adalah Ranggawarsita (abad ke-19) dengan karya-karya populernya Kalatida, Suluk Saloka Jiwa, dan Wirid Hidayat Jati.
Dua bentuk sastra Islam (Melayu dan Jawa) awal yang berkembang hingga abad ke-19 M ini menyiratkan dominasi sastra budaya ekspresif yang menggelorakan perasaan, intuisi, dan imajinasi, mengalahkan sastra budaya progresif yang berkembang di dunia Islam pada abad ke-8 hingga 12 M sebelumnya.
Dalam rentang waktu ini, terutama di zaman Islam, puisi juga berkembang dari perpaduan puisi Arab Persia dan Melayu seperti masnawi (berisi pemujaan dan tingkah laku mulia), ruba’i (berisi mistik, nasihat, dan puji-pujian), kit’ah (berisi nasihat), nazam (berisi cerita hamba sahaya para raja), dan gazal (berisi cinta kasih antara sepasang kekasih) atau dari tradisi lama seperti pantun, gurindam, seloka, bahasa berirama, talibun, bidal, pepatah, jampi, dan lain-lain. Yang paling terkenal di antaranya adalah Gurindam 12 karya Raja Ali Haji (pertengahan abad ke-19), pendiri klub penulis Rusydiah yang bertujuan mengembangkan bahasa dan kesusastraan Melayu Islam dengan mendidik kader-kader penulis berbakat. Usaha Raja Ali Haji, sang penulis Tuhfat al-Nafis, yang dikenal sebagai penyair, ahli bahasa, ahli sejarah dan politik, serta ahli agama dan hukum ini berhasil melahirkan banyak penulis kreatif hingga akhir abad ke-19 seperti Raja Ali Tengku Kelana, Raja Hitam, Raja Aisyah, Raja Abdullah, Tuan Bilik, Raja Zaleha, dan Haji Ibrahim. Termasuk ke dalam gaya sastra pada zaman ini adalah karya-karya Abdullah bin Abdul Kadir al-Munsyi seperti Kisah Pelayaran Abdullah ke Negeri Jeddah.
2. Kesusastraan Moderen
Di abad ke-20 M muncul kesusastraan moderen sebagai hasil kontak para pengarang dengan kebudayaan Eropa. Meskipun menentang tradisi dan sastra tradisional, karya-karya penulis generasi 1920-an dan 1930-an ini masih terpaut dengan karya-karya klasik zaman Hindu dan Islam, baik dalam bentuk maupun isinya. Penonjolan napas Islam lebih terlihat , misalnya, pada karya-karya Abdul Muis, Mohammad Dimyati, Hamka, Tulis Sutan Sati, A. Sutan Pamuncak, Amir Hamzah, Rifa’i Ali, N. Adil, Ali Hasjmi. OR Mandank, Mozasa, Samadi, Suman Hs, A.M. Daeng Miyala, MD Yati, dan Abdul Rivai.
Di antara tokoh-tokoh generasi ini, yang paling kuat menonjolkan semangat Islamnya ialah Abdul Muis, Hamka, dan Amir Hamzah.
Abdul Muis yang aktif berpolitik dan selalu mengeritik model pendidikan kolonial Belanda yang cenderung menjadikan pemuda-pemudi Indonesia kebarat-baratan dalam perilaku dan pemikirannya, menulis Salah Asuhan yang dipandang sebagai novel puncak tahun 1920-an.
Hamka yang dikenal sebagai ulama, da’i, dan penulis produktif menulis banyak karya seperti Di Bawah Lindungan Ka’bah (1936), Tenggelamnya Kapal van der Wijk (1938), Merantau ke Deli (1938), Tuan Direktur (1939), Di Dalam Lembah Kehidupan (1940), Kenang-kenangan Hidup, Ayahku, dan karya monumentalnya Tafsir Al-Azhar.
Sedangkan Amir Hamzah yang meninggal tahun 1946 sebagai korban revolusi sosial yang bergolak di Kuala Bingai lebih dikenal sebagai penyair besar dan salahsatu di antara pelopor kesusastraan Indonesia moderen yang menganggap kegiatannya sebagai renaissance dari yang lama. Amir Hamzah kerap mengambil gambaran dan symbol puisinya dari Alquran dan hikayat para nabi. Tiga kumpulan sajaknya adalah Nyanyi Sunyi (1937), Buah Rindu (1941), dan Setanggi Timur (terjemahan, 1939). Kedalaman dialog Amir Hamzah dengan Tuhannya terlihat dalam sajaknya yang sangat berbobot Padamu Jua dan Tuhanku Apatah Kekal.
3. Angkatan 1945-1966
Di masa ini kesusastraan bernafaskan Islam agak terhambat perkembangannya disusul kemunculan Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) yang berpaham realisme sosial, kekiri-kirian, dan menjadi mantel Partai Komunis Indonesia (PKI).
Namun, di tengah segala kesulitan tersebut, muncul para pengarang yang setia menampilkan masalah-masalah agama dalam karya-karya mereka. Selain Chairil Anwar yang merupakan pelopor Angkatan 1945 dan menulis beberapa sajak relijius seperti Doa sebelum wafatnya, pengarang-pengarang yang banyak menampilkan masalah-masalah agama dapat disebut di antaranya Achdiat K.Mihardja (Atheis), Aoh Kartahadimaja (Pecahan Ratna), Bahrum Rangkuti (Sinar Memancar Dari Jabal al-Nur, drama 1950), A.A. Navis (Robohnya Surau Kami), Alwan Tafsiri, Mahbub Junaidi, Asrul Sani, Ajip Rosidi (Dalam Bayangan Tuhan dan drama Masyitoh), Jamil Suherman (Perjalanan ke Akhirat), Muhammad Ali (Kiamat), Yusuf Syou’ib, M. Saribi Afn, Armaya, Bastari Asnin, Bur Rasuanto, Suwardi Idris, Misbach Yusa Biran, Mohamad Diponegoro (drama Iblis), Ali Audah (Jalan Terbuka), Taufik Ismail (Ya Rasul), Syu’bah Asa, Arifin C. Noer (drama puisi Datang Rasul Pergi Rasul), Tutty Alawiyah, Titi Said, dan lain-lain.
Taufik Ismail yang dipandang sebagai pelopor Angkatan ’66 banyak mengeluarkan sajak-sajak yang mengandung nilai dakwah. Penyair kelahiran Bukittinggi tahun 1937 ini sempat memotret pelbagai peristiwa berdarah menjelang tumbangnya kekuasaan Orde Lama tahun 1965. Sajak-sajaknya penuh protes terhadap segala ketidakadilan dan penyelewengan di masyarakat. Selain mengumpulkan sajak-sajaknya dalam Tirani dan Benteng, ia juga banyak menggubah lirik untuk lagu-lagu keagamaan yang dinyanyikan grup Bimbo seperti Tlah Datang dia, Rindu Rasul, Setiap Habis Ramadhan, Puasa, dan lain-lain.
4. Angkatan 1970 dan 1980-an (Gerakan Kembali ke Akar Tradisi)
Di tahun 1970-an muncul karya-karya transendental yang berkecenderungan sufistik akibat dikumandangkannya suatu gerakan kesadaran yang diistilahkan Abdul Hadi WM sebagai “gerakan kembali ke akar tradisi” atau yang oleh Danarto dinamakan “gerakan kembali ke sumber”. Kemunculan kesadaran yang diiringi banjirnya buku-buku yang berjudul keislaman itu cenderung dikaitkan dengan soal kebangkitan kembali Islam. Para pelopor gerakan ini ialah Danarto (sebagai pelopor awal gerakan sastra sufistik atau mistikal dalam sejarah sastra kontemporer Indonesia ), Kuntowijoyo, Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi WM, dan M. Fudoli Zaini.
Kecenderungan serupa walaupun coraknya berbeda dapat dilihat dalam karya-karya Taufik Ismail, Arifin C. Noer, Ikranegara, D. Zawawi Imron, Emha Ainun Nadjib, dan Hamid Jabbar. Disusul para penulis muda generasi 1980-an seperti Ajamuddin Tifani, Ahmad Nurullah, Abidah S. Khalliqie, Soni Faried Maulana, Ahmadun Y. Herfanda, Jamal D. Rahman, Agus Sarjono, Isbedy Setiawan, dan Acep Zamzam Noer.
Jika para tokoh Islam menghubungkan tradisi keagamaan dengan tradisi sastra karena sebagian dari mereka adalah ulama, seperti Rumi, Jami, Hamzah Fansuri, dan lain-lain, maka kecenderungan lari ke sufisme pada generasi ini adalah semata pengalaman dan penghayatan estetik yang memainkan peranan penting dalam usaha mereka untuk mencapai Tuhan. Pada puncaknya mempunyai kualitas religius dan dan mistis, karena menyentuh dunia yang spiritual dan transenden. Hal ini paralel dengan kata-kata Ibnu Arabi dalam kitabnya yang masyhur Al-Futuhat Al-Makkiyah: “Keindahan merupakan dasar dari cinta dan cinta kepada Tuhan sentral sekali dalam ajaran sufi.”
Beberapa karya yang dapat disebut tergolong angkatan ini, misalnya, kumpulan cerpen dan essai Danarto Godlob, Adam Ma’rifat, Berhala, Gergaji, dan Orang Jawa Naik Haji. Sedangkan Kuntowijoyo yang dikenal ahli sejarah, penulis puisi, cerpen, drama, dan novel serta dianggap konseptor awal gerakan sastra transcendental banyak menulis karya yang tidak lepas dari kehidupan keseharian seperti Khotbah Di Atas Bukit, Kereta Api Yang Berangkat Pagi Hari, Isyarat, Suluk Awang Uwung, Sepotong Kayu Untuk Tuhan, dan lain-lain.
Kalau Sutardji yang kumpulan sajak-sajaknya dalam O, Amuk, dan Kapak tampak “liar dan gelisah” dalam menggapai Tuhan, seperti dalam sajaknya Walau (1978), maka Abdul Hadi yang dikenal sebagai karitikus penulis antologi Sastra Sufi dengan kedalaman sikap religiusnya yang intens selalu tercermin dalam sajak-sajaknya yang terasa lembut dalam zikir dan bahkan diam, diam yang pelan-pelan memancarkan pesona langit, seperti dalam Tuhan, Kita Begitu Dekat. Hal yang sama terasa pula dalam karya-karya Fudoli yang dikenal sebagai pakar ilmu hadis dan tasawuf lulusan Universitas Al-Azhar Kairo, misalnya dalam kumpulan cerpennya Lagu Dari Jalanan, Potret Manusia, Arafah, dan Batu Setan atau cerpen sufistiknya Burung Kembali ke Sarang.
Karya-karya lainnya yang cukup menonjol nampak pada tulisan-tulisan Emha yang dikenal sebagai penyair religius, mubalig (kyai mbeling), penulis kolom dan artikel sosial politik dan keagamaan, seperti pada kumpulan sajaknya Frustrasi, 99 Untuk Tuhanku dan sajak-sajak lepas lainnya.
Tahun-tahun setelah ini, minat kalangan muda terhadap sastra sufi meningkat, diiringi bertambahnya minat para pembaca buku-buku agama yang bernada kesufian.
Apabila Artikel atau info dalam blog ini baik dan bermanfaat bagi anda, harap disebarkan
Prev Post
Next Post