MEMBEDAH SENI KALIGRAFI ISLAM KITA

0

PENGANTAR*
Suatu hari, di tahun 1986, saya diundang Ustadz Sulaiman Abdul Musallam, Kepala  Atase Keagamaan Kedutaan Besar Kerajaan Arab Saudi di Jakarta, datang ke kantornya. “Saya akan berlibur ke kampung saya, “katanya. “Ayolah pesan, minta oleh-oleh apa!” ia menawarkan. Tanpa pikir panjang, saya pesan minta dibelikan buku-buku tentang khat atau seni kaligrafi. Dua bulan kemudian, di akhir Desember tahun itu, saya kembali diundang Al Musallam. Alangkah senangnya hati saya. Di tangan orang yang dua kali saya wawancarai sebelumnya ini, ada buku Ruh Al Khath Al’Arabi. Buku itu diberikannya kepada saya sebagai oleh-oleh dari Tanah Suci, memenuhi janjinya dulu.
            Saya, memang, sangat mengebu-gebu untuk mencari informasi tentang naskah-naskah yang bisa dijadikan referensi, sepanjang berkait dengan kaligrafi Arab. Ketika pada tahun 1985 menyusun buku Seni Kaligrafi Islam, yang tergores di raut muka saya hanyalah kebingungan. Saya hanya mempunyai satu-dua kitab rujukan khusus tentang Khat Arab, itupun setelah berkelilling menjumpai beberapa khattat yang kebetulan menyimpannya hasil belian di Timur Tengah. Padahal, ketika membuka kitab-kitab tentang  Kebudayaan Islam, ditemukan serentetan judul-judul yang membahas khusus seni kaligrafi. Namun, tidak satupun buku terpajang  di etalase toko-toko di Tanah Air.
            Setelah dibolak-balik isinya, saya memutuskan untuk selekasnya menerjemahkan ketab hadiah teman baik saya itu. Alasan lain, karena di telinga saya terlalu terngiang-ngiang nasehat dari Prof. Ahmad Sadali, ketika saya bersilaturahmi ke rumahnya di Jalan Dago Utara, Bandung, beberapa waktu sebelum beliau dipanggil Allah. Kang Dali minta, agar buku-buku tentang seni Kaligrafi Islam diperbanyak, dan kalau perlu menerjemahkan buku-buku dalam berbagai ragam ke bahasa Indonesia, supaya selekas itu pula masyarakat kita khususnya mitra muda mengenal seni yang agung ini.
            Di Indonesia, sudah ada buku-buku panduan kaligrafi. Tetapi untuk mencapai target maksimal, umur buku-buku tersebut masih premature. Kita, tentu saja, tidak boleh menafikan kenyataan telah tumbuhnya rasa haus di kalangan muda untuk mempelajari seni kaligrafi, dan kenyataan bahwa buku-buku tersebut menjadi panutan untuk ditiru, dijplak, atau dikaji. Namun, jumlah buku-buku itu masih perlu dilipat-gandakan oplahnya. Buku-buku yang sempat terbit di Indonesia, sampapi saat ini, adalah Tulisan Indah (1961) karya M. Abdul Razzak Muhili, Tuntunan Menulis Halus Huruf Arab (awal ’70 & ’88)  oleh alm. Drs. Abdul Karim Husain, Seni Kaligrafi Islam (1985, ’87 dan ’88) dan Belajar Kaligrafi Islam I dan II (’86) oleh Drs. D. Sirojuddin AR, Dari Teks Klasik Sampai ke Kaligrafi Arab (’85) oleh C. Israr, Pelajaran Khat (Tulisan Arab) (’85) oleh M. Misbachul Munir Ks, Pelajaran Kaligrafi Islam I-a & I-b (’86) oleh alm. Drs Mizani Sudja’, himpunan kliping Kaligrafi dan Tahsinul Khat 1& 2 (’87) oleh Dede Nuruzzaman, Seni Kaligrafi Islam (’88) terjemahan Abdul Hadi WM dari Islamic Calligraphy karangan Y.H. Safadi, dan terakhir Buku Penuntun Kaligrafi Islam (’88)  oleh Drs. Irhash A. Shamad. Yang juuga jadi panduan, bahkan senantiasa dijadikan acuan untuk hampir seluruh buku-buku  petunjuk pelajaran kaligrafi di atas adalah Qawa’id Al Khat Al ’Arabi (’61) oleh kaligrafer besar abad XX Hasyim Muhammad Al Baghdadi, banyak dicopy dan beredar di pesantren-pesantren, kini telah diberi syarahan oleh Ali Akbar.
            Meskipun belum menyamai Timur Tengah, bias yang dipancarkan buku-buku tersebut cukup terasa. Namun, tidak semua orang menemukan buku-buku tersebut di toko-toko terdekat. Sementara itu, hasrat ‘berkaligrafi’ semakin bergemuruh, setelah Munas LPTQ memasukkan khat indah Al Qur’an menjadi bagian dari komponen yang dilombakan dalam Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) di Tingkat Nasional sampai Tingkat Pedesaan. Gambaran tentang kesemarakan baru ini dapat dilihat lebih jauh pada acara-acara di sekolah, kampus perguruan tinggi, kelompok-kelompok remaja dan perkumpulan-perkumpulan lain yang merekrut lomba kaligrafi sebagai bagian dari kesemarakan acara-acara peringatan.
            “Angkatan” lain juga telah lahir, kali ini terdiri dari generasi yang mendahulukan jurus-jurus lukis (seni rupa) pada rubrik yang lebih dominan daripada huruf-huruf. Tidak seperti kelompok “binaan” MTQ” yang mendahulukan kemurnian huruf-huruf sebagai sasaran kreasi, “generasi pelukis” ini justru mengais huruf-huruf Arab sebagai ‘nilai tambah’ untuk lebi memberi cahaya pada bidang lukis mereka. Yogya dan Bandunglah yang pertama maju sebagai pelopor angkatan ini. Dan anak-anak kmuda seperti Syaiful Adnan (Drs. Dari Minang yang jadi penghuni Yogya) telah berhasil memaklumatkan  “aliran yang tidak khkankya selesai pada huruf”, yang telah dirintis oleh pendahulu-pendahulu sebelumnya seperti Ahmad Sadali, A.D. Pirous  atau Amri Yahya.
            Kompromi, kalau boleh dibilang begitu, antara kedua kelompok yang berangkat  dari konsep yang berbeda ini telah sampai pada consensus. Bahwa, kita telah masuk pada periode untuk saling mengisi, dan tidak saatnya lagi mempertentangkan pangkalan tempat bertolak, “Inilah catatan yang dapat mengenang hari-hari pertama kehadiran ‘seni lukis kaligrafi’, lebih satu dasawarsa ke belakang, yang disambut pelbagai reaksi. Bagi pemegang akar kemurnian tulisan, generasi pelukis ini telah dituding nyeleweng. Reaksi dari para pelukis juga kembali memantul kepada “angkatan murni” yang dianggap terlalu berkutat pada kaedah-kaedah buku yang establish, tidak berani dan jumud. Genderang ‘perang’ seperti itu, meskipun sisa-sisa letusannya masih terdengar sana-sini, kini hampir-hampir pupus oleh kesepakatan-kesepakatan yang lebih berfaedah tadi.
            Bisa dimengerti, sekirannya kritik yang dilemparkan kepada para pelukis ini disebabkan oleh kenyataan seringnya dijumpai banyak kekeliruan penulis huruf – akibat kekurang hati-hatian atau keawaman – pada lukisan mereka. Huruf-huruf “seronok” dengan kekeliruan meletakkan titik,kekurangan nibrah,kekurangan dan kelebihan titik, kesalahan fatal (al-khata al-jaliy) dengan kekurangan beberapa  kata dalam ayat-ayat AlQur’an telah terangkat sebagai isyu, dan menjadi dasar untuk menyalahkan jenis kealpaan yang sulit dimaafkan. Kesalahan-kesalahan seperti ini, mungkin tidak mengurangi keindahan sebuah lukisan, melainkan dapat merubah makna, sebagaimana berubahnya kata Rahiem (Pemurah) dalam Basmalah kepada Rajiem yang berarti ‘durjana’, atau perubahan khaerun(bagus) oleh haerun tanpa titik yang beralias ‘ membingungkan’.
            Kehadiran titik terhadap “angkatan murni” juga sangat munasabah dan diperlukan. Karya-karya mereka yang dijuluki “hanya selesai pada huruf” oleh para pelukis, disebabkan oleh karena, menurut para pelukis ini, “miskin nuansa dan tidak menawarkan spectrum dan gagasan yang unik.” Angkatan murni, biasanya, tepekur pada model-model olahan yang telah dirintis oleh para empu abad klasik di Timur Tengah. Tulisan ditorehkan pada sabuk dinding berwarna polos, atau dengan tambahan dekorasi floral. Dapatlah difahami, kebeadaan huruf-huruf ini disajikan untuk selekasnya ditangkap kandunga bacaan dan maknanya oleh setiap penikmat yang menatapkan pendangannya ke sana. Para khattat ini juga sudah petent menulis dengan tinta air hitam di atas kertas warna polos. Bahkan, ketika beralih kepada media yang membutuhkan warna-warna, kemurnian huruf-huruf itu tetap dominant dan tidak gamang oleh godaan-godaan deformasi. Di sinilah letak lokasi yang jadi sasaran kritik para ‘pelukis kaligrafi’. Ada yang mengatakan, hanya dengan cara seperti itu, terasa menjenuhkan. Maka, harus dicari “adegan-adegan” baru yang menyatukan huruf-huruf  dengan cat di belakangnya dalam keharmonisan yang berimbang. Atau, yang bergaya khas indonesiawi, tanpa harus terikat norma-norma kaedah yang baku.
            Hendaknya kita mengintip lebih jauh. Kehadiran ‘lukisan’ kaligrafi dan bertambah maraknya hasrat mitra muda mempelajari kaligrafi dari dasar-dasarnya yang murni, mendorong seni ini berjalan di atas lelakon perjalanan yang semakin berpengalaman. Beberapa bukti yang ditemukan, dan atas dasar pengalaman menyelenggarakan beberapa kali kursus kaligrafi dengan prakarsa Lembaga Kaligrafi Al Quran (Lemka) selama tiga tahun (1986-’89), kami menjumpai anak-anak muda yang penuh antusias. Meskipun berangkat dari nol, mereka tetap tegar dalam menembus kesulitan, khususnya dalam mengeja tulisan huruf perhuruf  sampai pematangan aliran peraliran. Di kalangan anak muda “angkatan murni” juga timbul rasa iri terhadap karya-karya angkatan pelukis.
            Karena tidak punya latarbelakang pendidikan seni rupa, anak-anak muda ini berinisiatif sendiri mengolah cat untuk mencari wujud artistiknya yang  terkadang, dari segi legibilitynya sulit diberikan penilaian. Di kalangan angkatan pelukis, muncul pula hasrat memperdalam aliran-aliran murni sebagai kebutuhan praktis untuk mengadakan pendekatan, sebagaimana yang dilakukan angkatan murni yang merindukan bahasa rupa untuk mencari nafas baru.  Dua gejala ini sangat bagus, karena menunjukkan keakraban dan kompromi. Haruslah lahir nuansa-nuansa baru yang memperkuat penciptaan yang lebih menyeluruh, sehingga kelenturan kaligrafi dapat dibuktikan dalam kemungkinan-kemungkinan mengolah dari visi-visinya yang puspa ragam. Arus perkembangan ini akan bergerak terus tanpa bisa dibendung.
            Dalam kitab terjemahan ini, Kamil Al Baba memberi porsi lebih luas kepada uraian mengenai kaligrafi murni. Tetapi usaha mendeformasi atas gaya-gaya klasik tidak luput diakuinya pada pembahasan tentang yang trendy dalam Dunia Kaligrafi. Al Baba yang lahir dan digodok ditengah tradisi kemurnian huruf-huruf, harus mengakui “kesukaan baru” generasi sekarang yang yang meminjam istilah mamanoor SSR, suka berbicara tentang ekspresi , mitos, etos dan dialektika; tidak sesekali melulu dogmatika (Kaligrafi Arab pada Lukisan Kaca Cirebon, Salam, 14/7/1988).
            Bukan hanya di Indonesia yang memang tidak punya tradisi melahirkan aliran-aliran tulisan Arab seperti Timur Tengah, Turki, Andalusia, Moghul India, Persia atau Pakistan, justru Negara yang jadi embah pengembangan kaligrafi tersebut usaha mencari nafas baru itu cukup beringas. Sami Burhan (Majallatu Al-Ummah, 1405 H) mengakui adanya pengaruh kontak seniman Muslim dengan seniman dan kebudayaan Eropa. Hubungan tersebut memberikan trend baru dalam gaya dan orientasi penciptaan sebuah karya. Karena, tulis Sami dalam majalah berbahasa Arab tersebut, simetrika huruf-huruf yang menggambarkan perpaduan pesan-pesan, tiada lain daripada ashwat musiqiyah mar’iyah (suara-suara music jiwa). Maka, khat, pembangunan dan relif yang adalah symbol kemajuan Arab-Islam harus dibiarkan bergerak sebagai symbol peradaban manusia yang tidak pernah mandek.
            Beberapa di antara seniman yang melahirkan trend baru dalam berkaligrafi, kita kenal misalnya, Rasyid Butt dari Pakistan. Alasan Butt mencari gagasan-gagasan baru yang optimal adalah, seperti dikatakannya, “life is struggle between art and work, “ (hidup adalah semangat anatara seni dan pekerjaan. South, 10/1986). Rasyd butt sangat mahir menampilkan gaya-gaya nasta’liq, tsulus, naskhi utsmani dan kufi yang diolah menjadi bentuk-bentuk satranji (kotak-kotak catur) yang asing dari kelaziman.
            Angkatan baru yang ramai-ramai menyibak tirai kelaziman, kita kenal pula melalui nama-nama Muhammad Ibrahim (mesir), sami burhan, ali omar ermes (Libya) ; jamil nasqy dan sadequain (Pakistan) ; dhiya al-azawi (irak) ; maha Muhammad abduh al-maic, ahkam boqas, Fatimah wares warjo dan hamidah wye dari arab Saudi yang pada tahun 1988 masih kuliah di universitas king saud, Riyadh ; universitas ummul qura, mekkah dan cabang institut pendidikan dan seni di Riyadh. Empat nama terakhir dan teman-temannya dari arab Saudi, sempat memamerkan karya-karya yang mengagumkan dan menohok penonton di AS di tahun 1988. Mulanya dipamerkan di mekkah dan Jeddah, selama tiga bulan. Karena sukses, karya-karya para (calon) seniwati Saudi ini diboyong ke AS untuk dipamemrkan di gedung kedutaan besar Saudi. Motif-motif warna-warni yang menggambarkan kebudayaan arab tradisional dipajang berdampingan dengan komposisi abstrak dan surrealistik. Dari kedubes Saudi, pemeran dipindahkan lagi ke Fairfax, Virginia, tepatnya ke gedung akademi wanita islam Saudi.
            Dengan menampilkan para seniwati arab Saudi, sebagai contoh nampaknya mengganjilkan. Tetapi, perlu diingat, di arab Saudi, seperti juga di Negara-negara islam yang lain, seni secara historis merupakan penafsiran tentang bentuk-bentuk lingkungan islam di masa lampau. Sebelum terbentuknya kerajaan arab Saudi modern, gaya hidup yang terutamanya nomadic menghasilakan karya seni yang merupakan kombinasi antara bentuk dan fungsi. Wanita-wanita bbeduin menenun pakaian-pakaian yang dipolakan dengan kemah dengan warna-warni yang mencolok. Juga dihasilkan permadani, dan kebutuhan pakaian lain.
Semua ini menjadi warisan bagi kaum wanita modern Saudi. Kini, wanita Saudi memikul tradisi itu, memadukannya dengan kreatifitas, dedikasi dan pengabdian untuk membangun warisan artistik baru.
Kita tidak akan berlama-lama bicara tentang “keharusan” mencari motif-motif baru, atau  “keharusan” mempertahankan gaya-gaya klasik yang sudah dibakukan rumus-rumusnya. Kita maklum, untuk memanivestasikan segala “kehendak” pelukis, biasanya berbagai gaya, kecenderungan dan konsepsi dimunculkan. Kita tidak bisa mencegah usaha-usaha mencari penemuan-penemuan baru. Sebaliknya, untuk memelihara rasa hormat kepada para tokoh, penggagas dan penemu terdahulu, adalah kewajiban kita memelihara karya-karya agung mereka, dengan memperdalam berbagai aliran berikut aspek-aspek persyaratannya. Yang paling penting kala kita mencurahkan perhatian dan ekspresi sewaktu mengolah karya, baik itu lukisan kaligrafi atau kaligrafi murni, hendaknya ketinggian ekspresi kaligrafi bisa memberikan pesan kehidupan, gerak dan kontinuitas. Dengan kata lain, menurut istilah dan suwaryono, dalam tiap bidang kecitraan, selalu harus bisa ditemukan dalam “a scope for fine small-scale abstract rendering.” Dasar citra kaligrafi harus senyawa dengan ruang kecitraan ; kalkigrafi jangan melukiskan sesuatu yang bersifat statis dengan banyak menggunakan garis-garis lurus ;  tapi sebaliknya harus diperhatikan kehadiran irama berkesinambungan yang lembut. Kaligrafi sebagai ekspresi estetis jangan hanya melancar secara smooth dan perfect. Dan suwaryono menegaskan, bahwa kaligrafi adalah ekspresi kesenian dan jauh melampaui batas-batas sebuah tulisan dalam pengertian biasa. “Kita nilai sebuah karya kaligrafi sebagai perwujudan dasar pemikiran, suatu cita dan citra yang dilahirkan dari baju keindahan pencipta.”
Kelebihan kamil al-baba dapat dilihat dalam uraian kesejarahannya. Di inddonesia, pengetahuan tentang sejarah seni kaligrafi islam (dalam literatur timur tengah, istilah kaligrafi islam atau al khat al islami tidak populer. Selalu disebut al khat al arabi) belum banyak dikenal. Menampilkan sosok sejarah sangat diperlukan, karena akan menjembatani hubungan kebudayaan khususnya seni melukis indah arab yang pernah dominan dalam literasi kebudayaan islam. Melalui pengetahuan sejarah, setiap peminat kaligrafi akan mendapatkan pesan-pesan berharga, dan kesadaran bahwa seni kaligrafi sesungguhnya hadir justeru melalui wahyu permulaan yang diterima nabi Muhammad SAW.
Dengan mengetahui masa kedatangan dan latar belakang diturunkannya ayat-ayat pena (QS. Al ‘alaq : 1-5) di awal kenabian Muhammad, kita bisa belajar banyak, bahwa ditinjau dari segi yuridis pun kewajiban mempelajari ilmu tuli baca mendapat penekanan lebih. Islam lebih memberikan prioritas utama pada shalat, sebagai ibadah pokok yang menjadi tiang agama. Oleh karena itu, keselamatan seorang muslim atau kecelakaannya di akhirat, sangat ditentukan oleh bagaimana cara dia memelihara shalatnya. Namun, perintah shalat datang kemudian dan terlampaui oleh ayat-ayat pena. Mengapa demikian?
Kita telah berada dalam kajian asbabul nuzul yang menarik. Muhammad SAW menerima wahyu pertama, justeru tentang perintah membaca dan menulis, tidak lepas dari latar belakang bangsa arab yang akan jadi sasaran dakwahnya. Bangasa arab pada umumnya, sebelum kedatangan islam, dikenal buta aksara, bahkan dari satu sisi, “anti huruf”. Meskipun orang-orang arab dikenal sebagai bangsa penyair, namun tulisan mereka tidak termasuk ranking tulisan adiluhung yang menyamai tulisan-tulisan besar dunia seperti hieroglipt (mesir), devenagari (india), kaminomoji (jepang), azteka (Indian), huruf paku (assiria), romawi, cina dan lain-lain. Tradisi “mulut ke mulut” dalam menyampaikan pesan atau menalar syair dan menghapal silsilah, menyusutkan hasrat orang arab mengangkat tulisan mereka ke tingkat presisi yang tinggi, dan jenjang kelasnya dengan puisi yang mereka agungkan tidak seimbang.
Bagi bangsa arab, dalam kondisi lalai seperti itu, kehadiran ayat-ayat pena ini adalah bom. Bagi kita kaum muslimin, wahyu permulaan ini mengisyaratkan tentang kewajiban membaca dan menulis yang mendominasi tempat tertua dalam literasi huku islam. Pena dan tulisan berhubungan erat dengan bidang keilmuan. Lebih dari sekedar persekutuan semangat mencipta dan rasa keindahan bagi pelukis, isyarat “bil qalam” (dengan pena) dalam firman Allah tidak selalu mengandung satu dimensi makna, yakni pena biasa untuk menulis atau kuas untuk melukis, seperti yang umum kita pahami selama ini. Aldy anwar menerjemahkan bi qalam dengan “perabot multi media” yang lebih luas, mencakup radio, televise, telepon, telegraph, teleks, facsimile, computer dan seterusnya.
Mengapa kita musti mengetahui dasar-dasar pemikiran yang terkandung dalam filosof kaligrafi islam, tiada lain untuk mengembalikan kontrol kita pada tujuan-tujuan awal kehadirannya sebagaimana dituntutkan al quran. Moral Al Quran hendaknya memberikan sentuhan kolasi pada kanvas, kayu, kaca, keramik, tunggul, karpet, gelas, piala, kertas, tembaga, plaster, kulit, tanah dan batu. Al quran adalah sumber segala inspirasi dan dapat dijadikan ajang perburuan kreasi yang tiada habis-habisnya.
Sangat menarik menyusuri sejarah lebih lanjut, bagaimana al quran sanggup melakukan pendobrakan dan transformasi budaya, mengubah substansi sesuatu yang mapan menjadi bentuk baru yang memiliki dinamik seperti tulisan arab. Lebih 1000 tahun sebelum islam, perjalanan kaligrafi arab sangat tesendat, dan tidak melahirkan keanekaan ranting-ranting yang kukuh. Hanya beberapa puluh tahun sesudah islam, terjadi lompatan besar. Akar-akar tulisan pecah menjadi lebih 400 aliran. Sikap para ulama terhadap seni kaligrafi yang bertolak belakang dengan sikap keras mereka terhadap seni gambar makhluk bernyawa, dan sambutan pundi-pundi dinar para sultan atas karya-karya kaligrafi yang bagus, telah melahirkan banyak maestro dan menempatkan kaligafi ke puncak seni yang mengandung halawah (gula-gula).
Mungkin, berkat fadhilah yang diberikan kepada seni kaligrafi ini, kaligrafi besar yaqut al musta’shimi (w.698 H/1298 M) mengibaratkan kaligrafi sebagai arsitektur ruhani yang diekspresikan lewat medium jasmani (alkhattu handasatun ruhaniyatun, zhaharat  bialatin jismaniyah). Siloka ini oleh m. ugur derman dalam jurnal art and the Islamic world volume 4, 1987, dibaha inggriskan menjadi “calligraphy is a spiritual geometry brought about with materials tools,” (kaligrafi adalah suatu ilmu ukur spiritual yang menghasilkan perabot kebendaan). Selanjutnya, kata-kata ini dijadikan definisi yang diakui banyak pihak.
Penekanan yang jadi pusat perhatian kita adalah, bagaimana pengaruh yang dipantulkan wahyu permulaan al quran punya bias begitu besar. Namun, kita juga masih perlu mengkaji ayat-ayat lain dan beberapa hadits nabi SAW yang mendorong reformasi kaligrafi arab begitu cepat, dinamis dan bergemuruh. Satu diantara ayat al quran yang jadi simbol “kekuatan magis” itu adalah yang pertama dari surat Al qalam, “nun, wal qalami wama yasthurun,“ (nun, perhatikanlah qalam dan apa saja yang mereka goreskan).
Penafsiran yang lebih akrab kepada pemahaman kita, dalam kata nun yang kontroversil, adalah yang berdasar kepada riwayat ibnu abbas, diikuti penafsiran ini oleh al dahhak, al hasan dan qatadah, bahwa “arti nun adalah dawat atau tinta,” parallel dengan hadits keluaran abu hatim riwayat abu hurairah, dimana nabi SAW mengatakan : “Allah menciptakan nun, yakni dawat.”
Para pelukis dan khattat segera menangkap objek isyarat ayat al quran dan qaul nabi itu. Isyarat itu cukup menantang, dan para seniman menjawabnya lewat olah bentuk dan konsepsi penciptaannya. Lukisan-lukisan indah lahir melalui keragaman gaya dan pesona visualnya. Lagipula, para seniman kaligrafi leluasa bergerak, karena tidak menemukan hambatan psikis yang mengacu pada kata haram atau pamali, seperti yang dikenakan pada karya-karya seniman patung, tari dan nyanyi yang oleh nabi pernah dicap malahi karena mudah terpesona obyek syirik dan hura-hura. Nabi mengatakan, “tulisan bagus akan membuat kebenaran tampak nyata, karena keunggulan.” Tetapi, inilah kata-katanya yang “memanjakan“ para seniman kaligrafi : “barang siapa meraut pena untuk menulis ilmu, maka Allah akam memberinya pohon di syurga yang lebih daripada dunia berikut seluruh isinya.” Dan, “barang siapa menulis bismillahir rahmanir rahim dengan khat yang indah, ia berhak masuk syurga tanpa hisab.”
Dengan menangkap getaran bunyi firman dan sabda itu saja, sang seniman dituntut mampu mengamalkan kekuatan imajinatif pribadinya. Dorongan-dorongan itu juga sudah cukup membuat semangat para khattat terdahulu lebih dari sekedar “binal” untuk membentuk kreasi-kreasi unggul. Uniknya, modal ini mendapat pembelaan di mana-mana, baik dari kalangan ulama maupun cendekiawan penguasa. Dalam berbagai siloka, seni kaligrafi dilukiskan sebagai kecantikan rasa, duta akal, penasihat fikiran, senjata pengetahuan, penjinak saudara dalam pertikaian, pembicaraan jarak jauh, penyimpan rahasian dan khazanah berbagai masalah kehidupan. Ringkasnya, “khat itu ibarat ruh di dalam tubuh,” seperti dikatakan sebagian ulama. Bukannya para khattat tidak tahu maksud yang diucapkan nabi ini : “hendaknya kalian mempercantik tulisan, karena dia itu adalah kunci-kunci rezeki.”
Semuanya menimbulkan daya tarik. Dan, bagi para kaligrafer, di sana terletak ilham untuk mencipta. Al quran adalah matarantai penghubung antara tulisan arab dengan dunia islam. Maka, menjaganya dari walau setitik kesalahan adalah wajib. Ketentuan ini berlaku, baik untuk memenuhi keperluan estetis maupun untuk keperluan fungisonal.
Kamil al baba mengajak kita untuk lebih bersungguh-sungguh menangkap fungsi-fungsi kaligrafi sebagai medium ekspresi. Ia mengingatkan sebuah “tragedi” di dunia arab, ketika tulisan tangan dioper fungsi oleh mesin ketik dan alat-alat cetak elektronika. Al baba hanya bisa mengingatkan, bahwa tulisan tangan masih diperlukan dan harus dilestarikan di tengah riuhnya iming-iming mesin tulis  yang lebih simple dan asal pencet.
Di tanah air kita, mesin tulis arab belum jadi “ancaman”. Namun, diakui, kebiasaan menulis halus huruf arab yang dulu diajarkan di sekolah-sekolah dasar dan menengah kini menghilang dari jajaran kurikulum. Pengucilan jenis ketrampilan ini terbukti berakibat bukan hanya jadi beban bagi pembaca, tetapi sering juga menghambat kelancaran membaca. Tulisan jelek, apalagi yang tidak mengikuti aturan yang betul, dapat memupus gairah membaca.
Usaha LPTQ memasukkan seni menulis khat indah al quran ke dalam MTQ, memang, merangsang gairah kalangan muda mempelajari kaligrafi arab di mana-mana. Beberapa sekolah mengisi rubrik kegiatan ekstra kurikulernya dengan pelajaran ketrampilan kaligrafi. Ini artinya peluang untuk secara resmi memasukkan kembali seni menulis indah huruh arab atau al quran ke dalam sekolah terbuka lebar. Tidak hanya untuk memenuhi target kurikulum atau memperluas perasaan, seperti poengalaman dulu-dulu, kali ini kalang sekolah dapat mendorong para murid lebih kreatif dan membiasakan diri menyukai kaligrafi, bahkan harus mengapresiasi lebih mendalam lagi.
Di luar pembicaraan kita tentang “keleluasaan” berekspresi, bagi kalangan dasar yang baru mulai, pelajaran menyhlis kaligrafi hendaknya diberikan dari tingkat dasar (naskhi) huruf perhuruf, ditingkatkan kepada cara-cara merangkai kata perkata sampai kalimat perkalimat. Metode ini lebih betul, sebab, dengan membiarkan mereka bebas tanpa ikatan, bukan saja merusak legibility tulisan, tetapi jika objek torehannya ayat-ayat suci al quran, maka kekeliruan akan bergerak kepada konsekuensi yang lebih berat lagi, yaitu perubahan-perubahan makna yang dikandung ayat-ayat suci tersebut.
Akhirul kalam, saya bersyukur kepada Allah SWT karena diberi kesempatan meluangkan waktu untuk menerjemahkan kitab ruh al khat al ‘arabi, melewati waktu lebih satu tahun karena tersendat berbagai halangan. Untuk para pelukis, untuk para khattat, kitab ini dapat digunakan untuk menambah wawasan keilmuan, atau menjadi studi banding atas ilmu yang telah dimilikinya. Sambil berharap dapat menerjemahkan buku-buku yang lain, semoga kiranya dinamika kaligrafi islam ini menjadi ilmun yuntafa ’u bih. Amin, ya rabbal ‘alamin.
Kampus IAIN Ciputat, 22 november 1989
  D. SIROJUDDIN. AR
Apabila Artikel atau info dalam blog ini baik dan bermanfaat bagi anda, harap disebarkan
Leave A Reply

Your email address will not be published.