Catatan dari Jalur Gaza I

0
Oleh :
 H. Awan Mauluddin Anwar, S.Ag
(mauluddina@yahoo.com)


Berikut adalah oleh-oleh perjalanan Mauluddin Anwar, Produser Liputat6 SCTV yang juga salah seorang pengurus Lemka, dalam tugas meliput serangan Israel ke Jalur Gaza Palestina beberapa waktu yang lalu.

Ahlan Wasahlan!
Keluar dari kantor imigrasi Palestina di Rafah, Gaza, saya dan Yon Helfi seperti ayam kehilangan induk. Guide kami yang lebih mahir berbahasa Arab pun, baru kali ini masuk Jalur Gaza. Tadinya kami kira akan banyak kendaraan pengangkut ke kota-kota lain, seperti Gaza city. Nyatanya hanya ada dua kendaraan ambulans, dan satu sedan Mercy tahun 70-an. Berpasang-pasang mata, beberapa di antaranya bertampang menyelidik, memandang kami. Dua orang berpostur tinggi besar mendekat. Berbekal pengalaman “kurang enak” di terminal bis, pelabuhan dan bandara di Tanah Air, insting saya refleks mengingatkan: hati-hati!

Bersama Abu Mus’ab dan Yon Helfi, dan dua bocah Rafah.
Di belakang adalah puing-puing Al-Abror, masjid terbesar dan terbaru di Rafah, yang dihantam rudal Israel

Setelah mengetahui tujuan kami, Gaza city, keduanya saling berbisik, serius berembuk. Ah, trik murahan ala preman terminal di Indonesia, pikir saya. Mereka mendekati sopir ambulan, dan sepertinya meminta untuk mengangkut kami ke kota Gaza. Tapi sang sopir menolak, mungkin karena ada korban agresi Israel yang akan tiba dan harus segera diangkut ke Mesir. Gagal merayu sopir ambulan, keduanya mengajak kami masuk ke sedan Mercy putih. Rupanya ini kendaraan milik salah satu dari mereka. “Tidak menunggu taksi saja?” Tanya saya. “Masuklah, tidak ada taksi di sini,” kata lelaki pemegang kemudi.


“Saya Abu Mus’ab,” katanya sambil memperlihatkan kartu pengenal: polisi intel Hamas! Senyumnya menohok saya yang masih bertampang curiga. “Kita semua saudara,” pernyataannya makin membuat saya malu, astagfirullah. Abu Mus’ab tak tersinggung, dia malah minta maaf karena tak bisa mengantar kami ke kota Gaza (berjarak sekitar 30 kilometer), lantaran harus tetap bertugas di perbatasan Gaza-Mesir bersama teman di sebelahnya, Abu Hamzah. Dia hanya bisa mengantar kami ke pusat kota Rafah. “Dari sana Anda bisa menyewa taksi atau naik mobil umum,” katanya.

Di perjalanan, kami menyaksikan gedung-gedung perkantoran dan rumah yang luluh lantak. Segan meminta Abu Mus’ab yang “dikejar tugas” untuk menghentikan mobilnya, saya meminta Yon mengambil gambar dari mobil saja. Abu Mus’ab malah menghentikan mobilnya, dan dengan senang hati mempersilakan Yon mengambil gambar sampai puas. Dan ini berulang di sejumlah tempat. Walhasil, Abu Mus’ab sudah menemani kami lebih dua jam. “Apalagi yang bisa kami bantu?” Tanya Abu Mus’ab setiba di kota Rafah. Mendengar berbagai rencana saya, tanpa pikir panjang ia meminta Abu Hamzah membantu membelikan kartu dan voucher telepon lokal. Ia juga mengontak kawan-kawannya di kota Gaza dan Jabaliya, yang akan membantu kami, juga pemilik taksi sewaan jika kami butuhkan. Inikah “keramahan Hamas” yang oleh Israel dan Amerika Serikat justru dicap sebagai teroris?

Bercerita tentang Gaza dengan para anggota Lemka

Kehadiran saya di Jalur Gaza telah menguak sisi lain Hamas, yang selama ini hanya dipahami sebagai kelompok milisi. Baliho-baliho besar di sepanjang jalan memampangkan identitas Hamas yang lebih utuh: Hamas: Tarbiyah, Bina, Jihad. Jihad hanya urutan ketiga dari prioritas Hamas. Yang pertama adalah pendidikan (tarbiyah), dan kedua pembangunan (bina). Sejak Hamas menguasai jalur Gaza, 2 tahun lalu, sekolah-sekolah dan masjid dibangun dan dimodernisasi. Pembangunan gedung-gedung, terutama untuk kepentingan sosial, juga marak. Itulah yang membuat sebagian besar warga Palestina (di Jalur Gaza dan Tepi Barat), akhirnya lebih kepincut Hamas pada pemilu 2006, dan meninggalkan Fatah yang mulai dirongrong isu korupsi para petingginya.


Tapi kenapa Hamas sangat dibenci Israel? “Kesalahan kami cuma satu, tidak mengakui Israel selama kami dijajah,” kata Abu Mus’ab. Di pool taksi kota Rafah, ia memeluk kami, sambil berpesan untuk tidak segan-segan mengontaknya jika butuh bantuan, jam berapapun. “Nahnu ikhwah (kita semua saudara),” lagi-lagi itu diucapkannya.

Pernyataan Abu Mus’ab bukan basa-basi. Selama kami berada di Jalur Gaza, citra ramah dan saling bantu memancar dari warganya, bahkan dari mereka yang kehilangan harta benda atau orang-orang terkasih akibat agresi Israel. Lebih lagi ketika mereka mengetahui identitas kami, shahafi Indonisi (wartawan Indonesia), semua meminta mampir untuk sekedar minum teh, atau setidaknya mengucap ahlan. Anak-anak dan remaja mengerubung. Semua ingin menjelaskan banyak hal, sehingga kerap membuat kami “repot”.

Saya teringat beberapa hari lalu, ketika ingin menyaksikan dari dekat bom-bom Israel dijatuhkan di perbatasan Gaza-Mesir. Setelah lolos mengecoh beberapa barikade tentara Mesir melalui “jalur tikus”, kami berhasil naik ke atap lantai empat gedung sekolah yang paling dekat dengan perbatasan Gaza. Awalnya warga sekitar tutup mulut, karena takut pada intel dan tentara Mesir yang berkeliaran. Tapi berbekal “diplomasi rokok” kretek Indonesia, mereka mulai terbuka, dan dengan senang hati menerima kami: ahlan! Salah seorang dari mereka bahkan ngotot mengajak makan di rumahnya.

Saya dengan sangat halus menolak ajakannya, beralasan “kami harus segera mengirim gambar eksklusif bom ke hotel”. Saya tak ingin peristiwa di Lebanon Selatan, Agustus 2006, terulang. Jamal Abu Hadid, sopir yang selalu menemani saya dan kameramen Andi Patra meliput Agresi Israel, suatu siang mengajak mampir makan di rumah saudaranya yang hancur dibom. Kami menolak karena harus meliput di tempat lain. Penolakan itu membuatnya sangat tersinggung. “Kamu pikir saudara saya akan meminta bayaran jika kamu makan di rumahnya?”

Itulah model pengejawantahan dari filosofi kata ahlan, atau lengkapnya ahlan wasahlan yang di Indonesia diartikan secara sederhana sebagai “selamat datang”. Padahal maknanya lebih dari sekedar ucapan basa-basi. Ahlan berarti keluarga, sahlan berarti mudah. Ahlan wasalhan: kamu sudah menjadi keluargaku, maka mudahlah segala urusanmu. Inilah model ikram ad-dhaif (menghormati tamu) ala Timur Tengah. Seorang tamu tidak hanya dijamu, bahkan harus dilindungi dari musuhnya sekali pun. Saya teringat kisah sejumlah wartawan asing yang malah diculik, di Jalur Gaza dan Irak. Ah, sepertinya itu sudah bercampur berkelindan dengan urusan politik.

Satu pelajaran lain yang berharga dari Gaza adalah ketegaran warganya yang enggan berlama-lama larut dalam duka. Imad Abu Faris, sopir yang menemani kami selama meliput di Gaza, tiba-tiba menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah yang hancur dibom, dan meminta Yon mengambil gambarnya. Kami menolak, karena sudah terlalu banyak gambar serupa yang diabadikan. “Ini istimewa,” katanya tersenyum, “ini rumah saya.” Masya Allah, dia masih bisa tersenyum dan rela mengantar kami kemana-mana, padahal rumahnya hancur, dan ada beberapa anggota keluarganya yang meninggal.

Imad adalah tipikal semua warga Gaza. Kematian tak perlu ditangisi, dan kehidupan harus berjalan terus meski badai menghadang. Umm Muhammad, seorang ibu yang kebetulan melaksanakan ibadah umroh ke Arab Saudi sebelum agresi Israelngotot kembali ke Gaza ketika kawasan ini sedang dibombardir. “Kenapa harus takut. Kematian sudah diatur, dan kita hanya menunggu giliran,” katanya.

Saat meninggalkan Jalur Gaza, kami terjebak di tengah ratusan orang yang hendak masuk ke Mesir di pintu perbatasan. Mereka, termasuk kami, tak diijinkan, tanpa alasan jelas. Lama menunggu, teringat Abu Mus’ab. Beberapa saat setelah dihubungi, ia muncul dengan Mercy putihnya. “Ahlan,” katanya sambil memeluk. Kami masuk mobilnya dan menyibak kerumunan hingga ke mulut gerbang. Sang penjaga tetap tak mengijinkan. Abu Mus’ab membuka kaca mobilnya. Petugas berpakaian loreng itu meminta maaf dan membiarkan kami melewati gerbang perbatasan. Saat berpisah, Abu Mus’ab lagi-lagi berucap, “Nahnu ikhwah.”

Masjid yang roboh

Keluar dari gerbang perbatasan Mesir, Yon lemas setelah memeriksa tas perlengkapannya. “Lampu kamera hilang!” Ya Allah, padahal kami akan memakainya untuk siaran langsung malam hari. Entah dimana, tapi terbetik juga pikiran buruk, jangan-jangan ketika kami dikerubuti anak-anak dan remaja di sejumlah tempat, ada yang iseng mengambilnya. Tiba-tiba handphone berdering, dari Abu Mus’ab. “Kenapa Anda tinggalkan lampu kamera di jok mobil?” Ia menjelaskan sudah menitipkan benda tersebut kepada wartawan Lebanon yang baru saja meninggalkan Gaza.


Rupanya persoalan belum selesai. Modem USB untuk sambungan live via internet pun, ternyata tertinggal di hotel di kota Gaza. Ya ampun! Tadi pagi kami memang tergesa meninggalkan hotel, karena memburu nara sumber yang tiba-tiba bersedia diwawancarai. Saya langsung mengontak resepsionis hotel. “Ya akhi (saudaraku), kami sudah menitipkan barang Anda ke wartawan lain yang akan ke Mesir. Silakan menghubunginya.” Alhamdulillah, semua dimudahkan untuk kami. Ahlan wasahlan, nahnu ikhwahSyukron (terima kasih).

Apabila Artikel atau info dalam blog ini baik dan bermanfaat bagi anda, harap disebarkan
Leave A Reply

Your email address will not be published.