Seni suara, lagu atau nyanyi yang paling dekat ke sumber Islam adalah lantunan ayat-ayat Alquran dan seruan azan. Sampai abad ke-18 M pengajaran Alquran di Indonesia diberikan dalam bentuknya yang sederhana. Setelah terjadi kontak langsung antara bumi Nusantara dengan jazirah Arab yang dimulai pada abad ke-17 M dan pulangnya para ulama Indonesia yang belajar di Timur Tengah pada abad ke-18 M sampai penghujung abad ke-19 M, pengajaran Alquran dari segi tilawah, hapalan, dan kajian tafsirnya berkembang pesat.
Sedangkan seni melagukan Alquran yang dikenal dengan nagam atau an-nagam fil Quran mulai berkembang sampai tahun 1920-an dalam bentuknya yang klasik dengan lagu dan irama khas Indonesia, yang ditampilkan dalam upacara keagamaan, haplah atau lailatul qira’ah. Lagu yang umumnya ditampilkan dibawa dari Makkah, karena itu dikenal dengan lagu Makkawi. “Revolusi lagu” Alquran terjadi tahun 1955 sejak dimulainya muhibah para qari Mesir ke Indonesia setiap bulan Ramadan yang membawa para qari besar Mesir seperti Syeikh Abdul Basith Abdus Shamad, Syeikh Mustafa Isma’il, Syeikh Shiddiq al-Mansyawi, Syeikh Mahmud al-Hushari, Syeikh Ali al-Banna, Syeikh Thantawi, Syeikh Shalah Abu Ismail, dan lain-lain. Mereka membawa lagu-lagu Mesir (Mishri), sehingga terjadilah perpaduan antara lagu Makkawi dengan Mishri. Lagu-lagu yang dikembangkan dalam Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) sejak MTQ Nasional I tahun 1968 di Makassar adalah tujuh lagu Mishri, yaitu Bayyati, Shaba, Rast, Jaharkah, Sika, dan Nahawand.
Kumandang MTQ yang diiringi kehadiran banyak perguruan Alquran seperti Institut PTIQ/IIQ dan ikatan para qari-qari’ah atau Jam’iyyatul Qurra telah berhasil memunculkan para qari dan qariah bertaraf Nasional dan Internasional seperti Ahmad Syahid, Nursiah Ismail, Mirwan Batubara, Nanang Kosim, Nasrullah Jamaluddin, Muammar ZA, Maria Ulfah, Ahmad Muhajir, Adli Azhari Nasution, Rahmawati A. Rani, Muarrif Abbas, Jejen Syukrillah, dan lain-lain.
Bentuk-bentuk nyanyian tradisional selain seni tilawah Alquran yang poluler di Indonesia terutama adalah Marhaban, Barzanji, Hadrah, Ratib Syaman, Rapa’i, Zikir Barat, Selawatan atau Lawut, Barodah, dan Rodat yang bersifat religius atau semi religius karena menyimbolkan do’a, zikir, puji-pujian kepada Allah atau salawat kepada Nabi Muhammad saw. Yang datang kemudian dan lebih kental nuansa musiknya adalah gambus atau kasidahan. Namun banyak pula musik-musik tradisional yang berkembang dengan pelbagai modifikasi seperti Zikir Sarafal Anam dari Bengkulu, Senandung Deli dari Sumatera Utara, Rebana dari Kalimantan Timur, Rebana Biang dari DKI Jakarta, Rapai Geleng dari Aceh, Peperi Mekah dan Kecapi Bugis dari Sulawesi Selatan, Tabuik dan Salawat Dulang dari Sumatera Barat, Rebana Al-Qudsi dari Jawa Tengah sampai Marhaban Priangan yang dianggap sebagai musik moderen dari Jawa Barat.
Hampir ke dalam keseluruhan nyanyian ini masuk pengaruh nyanyian atau musik dari daerah Islam di Timur Tengah dengan ciri penggunaan rebana atau alat musik khas Islam Arab lainnya seperti Shawn, Kemantche, Rabab, ‘Ud, Tanbur, dan Mandolin. Di beberapa daerah Indonesia di mana semangat Islam hadir, alat musik rebana banyak digunakan dalam pelbagai nama seperti Terbang Sejak, Terbang Gede, Gembyung, Rebana Biang, Brahi, Genjring, Tampre, Rapai, dan banyak nama lainnya yang mencap alat-alat musik tersebut sebagai Rebana Indonesia.
Beberapa grup musik gambus, kasidahan, selawatan sampai zikir tumbuh terutama sejak tahun 1960 sampai 2000-an. Grup-grup gambus seperti Al-Fata, Nasida Ria, Nida Ria, Sahara Timur atau Pravitasari telah melahirkan banyak lagu dengan biduan/biduanita terkenal seperti Rofiqoh Dharto Wahab, Nurasiah Jamil, Muchsin Alatas, Latif M, Muyasaroh, Nanang Kosim, Romlah Hasan, Diana Yusuf, Euis Sri Mulyani, Titi Said, Mawaddah Muhajir, dan lain-lain.
Kelompok selawatan juga bermunculan, dapat disebut misalnya, kelompok Slawatan Jamjaneng yang sudah mentradisi sejak sekitar tahun 1824 di Kabupaten Kebumen. Dari 424 perkumpulan, empat di antaranya telah melahirkan khasanah lagu-lagu yang berisi pesan-pesan keislaman, yaitu perkumpulan-perkumpulan Zumrotul Hasanah pimpinan S. Kartomejo, Al-Huda pimpinan Dullah Ichwan, Sinar Cahaya pimpinan Mijan Hadisasmito, dan Tri Sejati pimpinan Amir Yusuf. Sampai akhir tahun 1990-an, grup selawatan yang lebih moderen dan sering tampil dalam pertunjukan kolosal adalah grup selawatan pimpinan Haddad Alwi dari Solo dengan biduanita cilik Sulis yang telah melahirkan serial album Cinta Rasul yang banyak digemari anak-anak. Penampilan kolosal juga lahir dari grup-grup zikir di awal tahun 2000-an, seperti Majlis Zikir Al-Dzikra pimpinan Ustaz Arifin Ilham dan Majlis Zikir yang disertai acara pengobatan pimpinan Ustaz Haryono yang diikuti ribuan peserta dalam setiap penampilannya.
Seiring perkembangan seni suara dan musik, seni tari tradisional yang beratribut Islam juga tumbuh dengan mengalami modifikasi-modifikasi, seperti tari Seudati, Saman dan Rampak Dua dari Aceh, tari Zapin yang banyak dikembangkan masyarakat Melayu di Bengkalis, Siak, Pekanbaru, Sumatra Utara, Jambi, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Betawi, tari Samroh dan Hadrah dari Kalimantan Timur, tari Rudat dari Kalimantan Selatan atau Palembang yang hampir sama dengan tari Sinoman Hadrah, tari Tabot dan Gamat dari Bengkulu, tari Dabus dari Solok, Sumatra Barat, tari Sintung Hadrah dari Madura, tari Golek Menak dari Yogyakarta, tari Debag dari Kulon Progo, Jawa Tengah, dan tari Gambus dari Bangka sampai yang moderen yaitu tari Ba’da Khatam dari DKI Jakarta. Pada umumnya, jenis-jenis tari ini merupakan pengiring lirik-lirik barzanji atau selawatan yang bertujuan mengembangkan dakwah Islam di Indonesia.
Pola-pola gabungan lagu, musik, dan tari sejak tahun 1970-an melahirkan aneka warna lagu bercampur musik dan tari yang tidak lagi dibalut seni tradisi. Aroma musik lagu atau musik dakwah moderen merambah pula ke musik pop dan dangdut yang berhasil melahirkan para penyanyi besar dan album-album musik dakwah. Dari kalangan musik pop dikenal, misalnya, Grup Bimbo & Iin dengan lagu-lagunya Tuhan, Lailatul Qadar, Sajadah Panjang, Amanah Tuhan, Sifat 20, Wukuf di Arafah, dan lain-lain. Sedangkan “Raja Dangdut” Rhoma Irama yang sangat aktif berdakwah via Soneta Groupnya berhasil mengeluarkan puluhan lagu yang disebutnya sebagai voice of Islam seperti Kiamat, La Ilaha Illallah, Yatim Piatu, Qur’an dan Koran, Judi, Taqwa, Salehah, dan lain-lain.
Langkah melagukan pesan-pesan dakwah dengan teknik musikal yang variatif juga diikuti grup-grup nasyid, penyanyi, atau penyair lain seperti pengusaha Setiawan Jodi dengan grup Kantata Takwanya, Dewi Yull dengan albumnya Hanya Satu dan Emha Ainun Nadjib dengan albumnya Kado Muhammad melalui grup Kiai Kanjeng yang dipimpinnya.
Dalam beberapa festival akbar seperti pembukaan MTQ Nasional dan Daerah, kombinasi lagu, musik, dan tari tradisional dan moderen ditampilkan secara kolosal dari yang mulai menggunakan bedug seperti Rampak Bedug sampai instrumen musik moderen berteknologi tinggi. Seperti lazimnya, suasana pertunjukan itu pun berasosiasi kepada seni atau misi Islam karena perpaduan unsur-unsur ungkapan yang mengacu kepada salawat, tadarus, barodah, serta sorban dan kerudung. Di antara tokoh-tokoh koreografer atau penata tari jenis ini dikenal, misalnya, Suhaimi, Tom Ibnur, dan Andi Tiar dari Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dan penata-penata tari dari lingkungan budaya Melayu seperti Jose Rizal, Amrin Sabrin, Teungku Hedy Safina, dan lain-lain.
Semangat memobilisasi masa muda dalam pertunjukan nyanyi dan tari kolosal bernuansa Islam ini berkembang dalam momen-momen peringatan hari-hari besar Islam seperti awal tahun hijriyah, maulud Nabi saw, dan hari raya Idul Fitri dan Idul Adha di berbagai daerah dalam gaya dan tekniknya yang berbeda-beda.
Apabila Artikel atau info dalam blog ini baik dan bermanfaat bagi anda, harap disebarkan
Prev Post
Next Post