KALIGRAFI ISLAM INDONESIA:DIMENSI DAN SIGNIFIKANSINYA DARI KAJIAN ARKEOLOGI
-
PengantarKaligrafi Islam Indonesia sejak dari tanah asalnya merupakan salah satu parameter peradaban yang berkembang seirama dengan tumbuh dan berkembangnya agama Islam. Seni kaligrafi Islam Indonesia juga merupakan salah satu parameter eksistensi peradaban (tamadun) Islam di Indonesia. Jika kaligrafi Islam di tanah asalnya memiliki akar sejarah tradisi menulis indah dari bangsa Arab, yang dikenal dengan sebutan khat ( ), yang benar-benar sama dan sebangun dengan kata kaligrafi (kaligraphia: tulisan indah), maka seni kaligraf Islam Indonesia memperlihatkan ciri normatif Islam yang dalam fisik kulturalnya membawa serta perwujudan tradisi dan budaya isin nusantara. Ciri kenusantaraan kaligrafi Islam Indonesia tetap memiliki ciri-ciri seni Islam yang memiliki ketinggian estetika dan bersifat Ilahiyah.
Bukti-bukti efigrafis dan kaligrafis Islam di Indonesia dapat diamati sebarannya, baik secara spasial (bentang ruang) maupun temporal (bentang waktu), bertebaran isint di seluruh pelosok nusantara dalam berbagai ragam media dan ragam gaya presentasinya.
Sebagai cabang ilmu humaniora dan budaya, arkeologi mencoba menampilkan sosoknya dalam khazanah ilmu pengetahuan Indonesia yang terus menguji segala proses dan perangkat keilmuannya.
Dalam kedudukannya sebagai bagian dari arkeologi sejarah, maka signifikasi segi kesejarahan saja rasanya kurang lengkap; karena dalam topik bahasan ini, kami ingin menggambarkan aspek-aspek dari kajian kaligrafi Islam Indonesia dalam aktualias dan relevansinya dengan jargon-jargon pembangunan nasional, khususnya dalam merekontruksi masyarakat Indonesia di masa lampau dalam usaha menggali nilai-nilai kesatuan dan persatuan bangsa.
-
Sekilas Tentang Arkeologi sebagai Ilmu BudayaPada hakikatnya fitrah manusia dengan kapasitas akalnya dalam menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan adalah suatu upaya untuk memahami kebenaran-kebenaran yang berkaitan dengan pemahaman hakikat dan kodrat kehadirannya di muka bumi. Di sini kita dapat melihat kodrat manusia sebagai makhluk berbudaya.
Tentang kebudayaan, kami ingin mengemukakan pendapat al-Faruqi yang menyatakan, bahwa kebudayaan adalah kesadaran akan nilai-nilai dalam kesemestaannya, yang pada tingkat terendah mengandung makna kesadaran intuitif dari identitas nilai, serta kewajiban seseorang untuk mengejar dan mewujudan nilai-nilai itu (1989). Lebih lanjut al-Faruqi menyatakan, bahwa kebudayaan itu diartikan sebagai tsaqafah ( ) dengan makna tindakannya untuk menjadi lebih cerdas dan lebih berpengetahuan. Al-Faruqi memilih jargon yang lebih khusus untuk kebudayaan yakni adab, yang dalam tradisi kebudayaan Islam berarti husn yang bermakna sebagai keindahan dan kebaikan dari perkataan, sikap dan perbuatan.
Arkeologi, apapun padanan kata untuknya, adalah disiplin yang mempelajari budaya dari masa lampau. Pertumbuhannya di Indonesia sejak awal sampai kini dipengaruhi oleh berbagai centris, baik yang datang dari Eropa Kontinental maupun Anglo-Saxon. Dewasa ini terdapat kecenderungan kuat untuk menempatkan arkeologi dan antropologi, khususnya antropologi budaya.
Obyek arkeologi adalah seluruh peninggalan materil dari masa lampau. Tinggalan tersebut tentu sudah bisu, sehingga tidak dapat dijadikan responden untuk diwawancarai. Untuk itu arkeologi kemudian mengembangkan prosedur, tata dan metode kerja untuk dapat memanggungkan kembali peninggalan-peninggalan yang dijadikan sampel penelitian, agar bisa ditentukan arti, kedudukan, fungsi dan pengoperasiannya. Keseluruhan ini memerlukan konseptualisasi yang jelas bahasannya dan harus dapat dijadikan parameter bagi arkeologi itu sendiri. Dalam kaitan dengan ini tidaklah berlebihan bila Binford menyatakan bahwa arkeologi merupakan pemasok data bagi rekontruksi sejarah kebudayaan (1983: 4)
Dalam kaitan dengan inilah arkeologi mengarahkan pokok perhatiannya ada: (1) peristwa-peristiwa pembaruan (innovative event) di mana suatu budaya baru diwariskan atau budaya lama ditafsirkan kembai (reinterpreted of old culture) (2) peristiwa-perisrtiwa yang melimbas (dispersive events) yaitu ketika budaya lama diterjemahkan menurut ruang dan dipisahkan menurut kelompok-kelompok yang berlainan, boleh jadi disebabkan oleh asumsi-asumsi karena migrasi manusia atau difusi budaya itu sendiri.
Arkeologi, dengan perangkat ilmiahya seperti telah disebutkan, dalam lingkup kerjanya dapat membantu memecahkan masalah kronoligi dan fase-fase yang lebih rinci dan lebih tua, bahkan pada fase ketika tulisan belum dikenal manusia. Dalam arkeologi, pola-pola penyebaran dan kontelasi artefak serta pemukiman dapat dijelaskan makna dan konteks fungsional primernya, meskipun tetap harus mewaspadai hadirnya pertimbangan-pertimbagan transfornasi data, akibat faktor-faktor tafonomik.
Dalam retorika arkeologi, karena harus ada pertimbangan secara adil kehadiran dan keberadaan peran pihak-pihak yng kurang beruntung agar ia pantas dan patut melengkapi peran kisah sejarahnya, mereka harus diperlakukan bukan hanya sekadar sebagai appendix, tetapi masuk sebagai tema dalam mengisi kisah-kisah sejarah. Hasil olahan arkeologi dalam menganalisis lokal genius haruslah melalui kajian arsitektur, epigrafi, ikonografi bahkan teknologinya, agar kajian itu berhasil memperlihatkan gambaran fenomena sejarah dan budaya Indonesia, yang unsur-unsurnya telah menyerap anasir budaya asing.
-
Kaligrafi Islam Melalui Kajian ArkeologiSecara temporal, kajian Arkeologi Islam Indonesia (AII), meliputi aspek-asek kesejarahan dan kepurbakalaan dari masa lampau diperkenalkan, disosialisasikan, tumbuh dan berkembang bahkan memuncak hingga surutnya (secara politis) di Indonesia. Fase yang terakhir yakni fase surut adalah ketika mereka berhadapan dengan dominasi bangsa Eropa yang menjajah Nusantara. Jika kita berasumsi bahwa Islam mulai diperkenalkan di Nusantara di abad pertama hijriyah (VII) hingga kini, maka kehadirannya telah melampaui kurun lebih dari 1000 tahun.
Penelitian Arkeologi Islam adalah merupakan suatu bidang studi arkeologi di Indonesia, yang mencakup aspek-aspek masa Indonesia-Islam, dari tahun ke tahun sejak bidang ini secara institusional berdiri, telah dicobakembangkan dengan berbagai kajian yang relevan dan mutakhir. Keharusan dilakukannya pengembangan metode ini semakin terasa pentingnya, mengingat pada awalnya kajian AII yang dirintis beberapa pakar terdahulu seperti, Moquette, Djajadiningrat, Cowan, Pijper, dan Dimais; pada umunya mereka lebih menitikberatkan pada kajian dengan ilmu bantu filologi yang lebih menekankan pada kepentingan penguatan dan pembenaran sejarah. Ketika Indonesia merdeka dan arkeologi sudah ditangani oleh Arkeologi Indonesia secara mandiri, Arkeologi Islam dikembagkan oleh Uka Tjandrasasmita sebagai perintis bidang ini, tantangan pekerjaan arkeologi Islam mulai akumulatif, terutama ketika dikembangkannya penelitian terhadap situs-situs bekas kota lama melalui kajian arkeologi perkotaan (urban archaeology).
Dalam studi tentang arkeologi Islam, epigrafi merupakan salah satu jenis data dan disiplin pengetahuan yang penting peranannya bagi rekontruksi sejarah kebudayaan, sekaligus untuk mengetahui kemungkinan terjadinya difusi kebudayaan dari satu tempat ke tempat lain. Dari kajian epigrafi yang menganalisis sumber tulisan-tulisan kuno ini, kita dapat memperoleh gambaran tentang perubahan-perubahan yang pernah terjadi serta faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan-perubahan tersebut.
Hasil-hasil penelitian epigrafi dapat menghasilkan signifikasi Islam Indonesia, ialah bukti-bukti tulisan di berbagai media (benda) yang memiliki atribut kuatnya adalah beraksara atau berhuruf Arab. Sementara bahasanya dapat bahasa Arab, Melayu, Jawa, Sunda, dan sebagainya.
Salah satu obyek epigrafi adalah kaligrafi. Kaligrafi yang dalam hal ini kaligrafi Islam merupakan: (a) seni dalam kesenian Islam (b) puncak kesenian Islam yang mencerminkan spirit Islam, (c) pusat ekspresi seni Islam
Penulisan kaligafi Islam, khususnya di abad X masehi, sangat beragam. Gaya Kufi yang semula tampak kaku, kemudian menjadi semakin lentur dan ornamental, meskipun tetap angular. Sedangkan bentuk tulisan Kurcif (miring) terdapat berbagai gaya seperti Tsuluts, Naskhi, Muhaqqaq, Raihani, Riqa dan Tauqi. Pada masa berikutnya, gaya Riqa dan Tauqi tidak tampak lagi penggunaannya.
Kaligrafi Islam Indonesia (KII) sebagai elemen Epigrafi Islam Indonesis (EII), telah menjadi alat para seniman Indonesia untuk memperhatikan keindahan huruf Perso-Arabic, yang dimanifestasikan di berbaga media. Pada umumnya kaligrafi ini isinya merupakan kutipan ayat-ayat suci al-Quran yang diwujudkan di media arsitektur dan dekoratif. Salah satu bentuk atau gaya yang paling arkais dalam kaligrafi Islam, yang juga muncul dan didapati buktinya di Nusantara ialah apa yang disebut gaya Kufiqe yang pada abad VII masehi berpusat di Kufah (Irak). Di Indonesia bentuk huruf kufi terdapat di berbagai makam kuno, sedangkan model tulisan yang lebih lazim dan ditemukan dalam jumlah cukup banyak ialah tulisan-tulisan gaya Naskhi.
Bukti-bukti epigrafi pada kurun pertumbuhan Islam di Indonesia memperlihatkan pada kita sebuah konfigurasi data bagaimana Islam merambah wilayah Nusantara. Bukti-bukti tersebut data dibedakan dengan dua kategori yaitu: (a) bukti-bukti epigrafi yang masing-masing memperlihatkan anasir kebudayaan asing (b) bukti-bukti epigrafis merupakan perkembangan kreativitas lokal. Beberapa bukti tentang kaligrafi yang paling kuno, kita peroleh dari makam-makam kuno, sedangkan bukti-bukti kaligrafis yang lebih mutakhir diperoleh dari berbagai sumber media. Berikut ini kami ingin menyampaikan sebuah konfigurasi data kaligrafis yang contohnya diambi dari data arkeologi.
-
Kaligrafi Islam Sebagai Wujud Kreativitas LokalSalah satu perkembangan yang menrik dalam seni kaligafi Islam di Indonesia adalah perkembagan kreativitas lokal seniman Indonesia dalam memahatkan kemampuan seni kaligrafinya pada batu-batu nisan asal tempatan dengan gaya seni hias lokal pula. Sejak abad XIII masehi dan abad-abad sesudahnya, munculnya kreativitas dari seniman-seniman Indonesia dalam mengembangkan seni pahat dalam makam yang menampilkan berbagai gaya antara tempat yang satu dengan tempat yang lain menampilkan ciri-ciri arsitektur yang khas. Dalam hubungan dengan ini, tampillah gaya arsitektur makam yang kami sebut type Aceh, tyipe Demak-Troyolo, type Bugis-Makasar, dan banyak type-type lokal lainnya.
-
Perkembangan Senikriya Dalam Kaligrafi Islam (Abad XVIII-XX Masehi)Perkembagan kaligrafi Islam diamati dari epigrafi pada makam kuno yang tersebar di berbagai tempat di Indonesia dan yang dianalisa adalah yang memuat angka tahun. Pada umumnya makam-makam yang kami uraikan data epigrafisnya merupakan necropole (tempat pemakam raja-raja). Selain sumber kaligrafi pada makam, masih banyak lagi kreasi kaligrafi dari seniman Indonesia yang diwujudkan dalam berbagai media seperti kertas, kayu, logam, kaca dan berbagai bahan atau media lain.
Tentang sumber kaligrafi di luar makam yang telah diuraikan, pengamatan lain dapat kita arahkan pada al-Quran kuno yag ditulis di atas kertas. Pada umumnya pemakain bahan untuk menulis ada dua macan, yakni deluang yang umumnya adalah produksi lokal dan bahan kertas yang umumnya merupakan bahan impor. Al-Quran atau naskah-naskah keagamaan lainnya yang ditulis dalam deluang pada umumnya sangat jarang kalau diukur secara kuantitatif dibanding dengan yang ditulis di kertas. Bahan kertas itu sendiri umumya baru dipakai di Nusantara sekitar permulaan abad XVIII Masehi.
Selain kaligrafi pada bahan deluang, lontar atau kertas pada umunya dipergunaan untuk menulis naskah, terdapat juga media lainnya, yakni bahan-bahan untuk mewujudkan karya kaligrafi Islam pada kayu, kaca, dan bahan lainnya. Dari segi kreasi seniman kaligrafi di abad XVIII masehi dan abad-abad sesudahnya ada kecenderungan dari para seniman untuk melukiskan gambaran makhluk bahkan wujud manusia (anthropomorfik), walaupun dalam bentuk yang sangat tersamar.
Munculnya kecenderungan karya seni kaligrafi dalam menggambarkan wujud-wujud anthropomorfik pada berbagai produk kaligrafis Islam yang dipahatkan atau dilukiskan dalam berbagai media seperti pada kayu bahkan kaca yang pada umumnya muncul akhir abad XVII masehi. Karya seperti ini kemudian berkembang pada abad-abad sesudahnya dan banyak di antaranya merupakan produk keraton seperti di Cirebon, Yogyakarta, Surakarta serta di tempat lainnya yaitu Palembang bukanlah suatu gejala yang kita tafsirkan sebagai pengingkaran tehadap kaidah larangan penggambaran makhluk hidup. Masalahnya adalah para seniman tersebut mewujudkan karya yang kalau dilihat sebagai produk lukisan seperti perwujudkan anthropomorfik,namun dalam konsepnya merupakan suatu karya kaligrafis yang disusun sedemikian rupa huruf-hurufnya sehingga terwujud seperti makhluk. Hal yang kedua gambaran makhluk itupun kalau dapat kita sebut makhluk merupakan makhluk sangart mythical, artinya tidak jelas jenis mahluk yang digambarkan. Pada sebuah karya kaligrafis yang dapat kita kategorikan dalam jenis ini yaitu sebagai contoh pada sebuah ukiran kayu yang ada di museum Keraton Kasepuhan Cirebon. Lukisan itu berupa panel kayu yang di dalamnya dilukiskan sebuah makhluk yang menggambarkan seseorang bertumbuh manusia berkepala gajah sedang berdiri di atas punggung seekor binatang jenisnya tidak jelas. Ukiran atau pahatan jenis ini di museum Keraton Cirebon baik Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan maupun Keprabonan ditemukan dalam jumlah cukup banyak, umumnya merupakan produk seniman dari abad XVIII-XIX masehi. Mereka menghasilkan berbagai produk seperti karya yang mereka sebut Macan Ali, Burok, dan sebagainya, yang dipahatkan pada panel kayu ataupun kaca. Pada mulanya produk ini dihasikan oleh seniman istana atau seniman yang karyanya dipesan oleh istana ataupau hasil karya keluarga istana. Dalam fase yang lebih mutakhir, terutama ketika keraton-keraton lslam di Jawa sudah kurang berperan dari segi finansial ataupun politis, seniman-seniman kaligrafi memproduksi karyanya menjadi missal, artinya bukan produk pesanan.
Salah satu contoh produk seperti ini di Cirebon dihasilkan dari daerah Trusmi, sebuah desa yang banyak memproduksi karya-karya seni yang disebut Cirebonan. Produksi Trusmi ini bukan hanya berupa panel kayu saja, bahkan kini produk semacam ini hampir punah, tapi karya kaligrafis berkembang dengan menggunaan bahan kaca dan batik yang masih terus berlangsung hingga sekarang. Salah seorang seniman asal Trusmi yang masih memproduksi karya kaligrafis dengan mengembangkan model-model Keraton Cirebon adalah Rastika. Ia aktif berkarya dengan fokus pada karya-karya kaligrafis yang dibuat di kaca ataupun di kain batik. Dalam karya kaligrafis yang kontemporer ini, baik yang dihasilkan dalam panel-panel kayu maupun pada bahan kaca ataupun bahan kain, motif daun-daunan (floral design) masih tetap dominan sebagai unsur atau motif utama. Demikian juga dengan motif ilmu ukur (geometric design), dan kedua motif utama tersebut diperkaya dengan desain kaligrafis, berupa huruf-huruf atau kata, bahkan kalimat lengkap ataupun huruf-huruf yang telah digayakan (styler) dalam bentuk motif daun-daunan dan bentuk makhluk (antrophomorfik).
Dalam karya senikriya kaligrafis ini muncul kembali gejala ke seni Indonesia asli, yakni motif perwujudan wayang sebagai obyek karya seni. Di sinilah adanya usaha seniman kaligrafi kontemporer di abad XVIII dan XIX masehi dengan menggunakan media wayang sebagai obyek. Namun wayang tersebut (karena merupakan perwujudan makhluk) digambarkan secara tersamar dalam bentuk kaligrafi Arab dan tidak mengacu pada identitas atau nama tokoh pewayangan. Cara mereka membuat karya berbentuk wayang tersebut dibuat sedemikian rupa sehingga menjadi tersamar dengan mengaburkan identitas tokoh pewayangan yang dilukiskan dibuat menjadi makhluk mithis. Fenomena semacam ini terus berlanjut hingga abad XX yang karyanya dimanifestasikan pada bahan kaca, kain atau kanvas.
Gejala yang muncul abad XVII-XVIII masehi dikenal sebagai abad munculnya berbagai aliran tarikat. Gejala ini muncul ketika terjadi surutnya peranan pusat –pusat kekuasaan Islam, karena kehilangan peran dan otoritasnya serta munculnya peranan Belanda atau orang Eropa lainnya secara politis dan ekonomis.
Para seniman dan pujangga keraton yang biasanya dekat dengan lingkungan kakuasaan, kehilangan media-media tempat mereka menyalurkan karya seninya. Dalam kaitan ini munculnya mitos Ratu Adil dan Imam Mahdi atau bahkan sang Mesiah boleh jadi merupakan obsesi bahkan mungkin apologi terhadap ketidakberdayaan dan rasa kehilangan referensi lingkungan budaya yang sesuai dengan keyakinannya. Bersamaan dengan gejala tersebut terdapat fenomena beralihnya orientasi dari isinte ke pesantren-pesantren. Pesantren pada abad XVIII-XIX masehi semakin kuat kedudukannya sebagai pusat harapan di antara sempitnya sekian pilihan. Sartono Kartodirdjo memberikan gambaran secara jelas bagaimana pesantren dan kiayi menjadi panutan umat ketika peran elit birokrat ataupun elit raja kehilangan peran kekuasaan.
Sementara itu, budaya tulis tinggi (menulis indah) yang sempat dikembangkan oleh seniman Keraton menjadi surut dan tema-tema karyapun mengalami pergeseran. Tema-tema kaligrafi tidak lagi mengacu pada keraton, tetapi justru kembali kepada totalitas ajaran yang paling hakiki, yaitu sufisme. Suasana hutan dan pertapaan dengan segala isinya menjadi ajang karya seni. Demikian karya-karya yang sangat ilahiyah dan berbau sufisme yang diwujudkan dalam bentuk makhluk antropomorfis barangkali merupakan gambaran ajaran sufisme tentang kadar manusia dan Tuhanya.
Dalam perkembangan kaligrafi modern muncul gejala baru, yakni karya-karya yang dimuat di atas kayu atau bahkan kain yang menggambarkan beberapa ayat al-Quran atau hadis-hadis Nabi atau karya mandiri dari seniman berupa untaian huruf, yang hanya si seniman sendirilah yang dapat menerangkannya, atau dengan kata lain karya abstrak. Karya senikriya secara massal masih tetap tumbuh, namun gejala lahirnya elit seniman kaligrafi yang datang dari perguruan tinggi atau datang dari karya seniman ternama mulai menghiasi dan memperkaya khazanah Kaligrafi Islam Indonesia. Dalam hubungan dengan itu, kita dapat menyebut beberapa seniman terkenal yang berasal dari perguruan tinggi seni atau seniman terkenal yang mengkhususkan diri pada karya kaligrafi, karya itu biasanya dikerjakan pada kain kanvas. Mereka itu dapat disebut beberapa di antaranya AD Pirous, Subarna (ITB Bandung), Sirojuddin (UIN Jakarta), Amri Yahya (Yogyakarta), dan Abas Alibasah (Jakarta).
Sebuah media penting untuk mengekspresikan karya kaligrafi terutama pada masa modern ini adalah kaligrafi di bangunan mesjid. Kami sebutkan pada masa modern, karena dari data sejarah perkembangan masjid kuno di Indonesia kita sangat jarang atau dapat disebutkan isint pasti tidak ada karya kaligafi Islam di masjid kuno hingga abad XVI masehi yang asli dibuat pada zamannya. Memang ada unsur kaligrafi pada masjid-masjid kuno di Jawa dan juga pada makam kuno yang memuat data kaligrafi yang ditulis, tetapi memakai huruf setempat (Jawa) seperti masjid Mantingan, Jepara dan masjid Sendang Duwur di Paciran Jawa Timur. Pada umumnya di masjid-masjid kuno tidak berhiaskan kaligrafi Arab. Ketika arsitektur masjid yang bergaya Timur Tengah mulai memperkaya hiasan masjid.
Demikian juga dalam periode-periode berikutnya, hiasan kaligrafi Islam di masjid telah menjadi unsur penting dalam memperkaya arsitektur masjid. Salah satu contoh adalah masjid Baitul Rahman Banda Aceh. Masjid bergaya Moghul yang tampak sekarang ini adalah dibuat oleh Belanda ketika masjid asli yang bergaya arsitektur tradisional berbentuk atap tumpang terbakar semasa perang Aceh melawan Belanda akhir abad XIX masehi. Gambar masjid yang bergaya atap tumpang dapat dilihat dari catatan orang Perancis yang ikut Beaulie datang ke Aceh pada masa pemerintahan Iskandar Muda (1607-1636 M).
-
KesimpulanDari data kaligrafi Islam yang menjadi bahan telaah kami, secara kronologi dapat dilihat kehadiran tulisan dan bahasa Arab secara formal dipakai dalam kawasan Nusantara ini sejak abad XI masehi. Hal ini dapat diketahui dari bukti sejarah dengan ditemukannya makam Fatimah binti Maimun. Ini bukan berarti bahwa Islam hadir di Nusantara baru pada bad XI masehi ini. Islam sudah hadir jauh sebelum abad XI masehi, bahkan mungkin sejak abad VII masehi, yakni ketika Islam secara formal diperkenalkan dan diajarkan oleh Nabi Muhmmad Saw sebagai agama tauhid untuk umat manusia. Bahkan sejak abad-abad pertama masehi, bangsa Arab, Persia dan pedagang muslim lainnya sudah datang dan berkenalan dengan masyarakat Nusantara melalui kontak perdagangan, sekaligus memperkenalkan agama Islam, sebagai agama baru di Nusantara. Beberapa abad kemudian tumbuh dan berkembang menjadi kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam.
Dari huruf yang berkembang melalui telaah kaligrafi ini dapat disebutkan bahwa huruf Kufi berkembang lebih dahulu dan umumnya diperkenalkan dengan cara mendatangkan makam atau kubur dari Cambay (Gujarat) sejak abad XI masehi. Huruf-huruf jenis lainnya seperti Naskhi dan berbagi gaya huruf kaligrafi berkembang juga dan kemudian dipergunakan dalam berbagai media, ada yang di batu, kaca, logam, kayu, dan kertas. Data epigrafi menunjukan bahwa jenis huruf Naskhi telah hadir sejak abad XIII masehi. Kaligrafi telah dijadikan media kreativitas dari senimannya untu mewujudkan kreasi seni Islam yang ilahiyah. Dalam perkembangannya, karya kaligrafi, baik yang dihasilkan oleh seniman istana maupun seniman dari luar istana, telah berhasil menyerap isint budaya setempat dan diwujudkannya dalam karya kaligrafi. Dalam kaitan dengan ini, mucullah karya-karya kaligrafi berupa karya-karya kaligrafi dengan motif wayang. Unsur antromoporfik yang sebenarnya dilarang dalam karya seni Islam ini tidak mereka langgar secara normatif, karya mereka mewujudkan karya yang pseudo antropomorfik dalam bentuk karya yag distylir (digayakan secara tersamar) Dari teks-teks yang tertulis pada makam ataupun naskah kuno ternyata bahasa Melayu telah diperguakan sebagai bahasa pengantar atau bahasa tulisan untuk kelompok-kelompok etnis non Melayu di Nusantara, seperti di Bima, Gowa-Tallo, Ternate-Tidore, dan sebagainya. Kaligrafi sebagai karya seni tetap tumbuh hingga masa sekarang melalui sebuah transformasi yang dinamis.
Telaah kaligrafi Islam Indonesia yang memakai pendekatan arkeologi telah dapat diberikan sebuah konfigurasi (gambaran sekilas) bagaimana Islam dan masyarakat Islam hadir, berkenalan, tumbuh dan berkembang dan menyatu secara terintegratif dalam sebuah masyarakat yang heterogen untuk membentuk sebuah nation. Kesatuan dan persatuan bangsa ini dapat terwujud karena sejak awal kehadirannya secara toleratif Islam dan masyarakat muslim dapat berbaur dengan masyarakat non-muslim. Kehadiran mereka mula-mula hadir sebagai sebuah komunitas kecil, kemudian mereka berbaur dengan masyarakat Hindu-Budha, bahkan masyarakat yang metropolitan. Dalam bentang waktu perjalanan sejarahnya, Islam tumbuh menjadi masyarakat yang mayoritas dan tetap dengan mewujudan sikap toleransi yang tinggi. Dalam perjalanan sejarahnya ini, Islam hampir tidak pernah mengalami gejolak disintegrative dilihat dari segi hubungan antargolongan masyarakat. Hal inilah yang menjadikan modal terwujudnya kesatuan dan persatuan bangsa, suatu fenomena yang tentu saja harus dipertahankan terus dalam mewujudkan cita-cita kesatuan dan persatuan bangsa ini.
*Bayt Al-Quran dan Museum Istiqlal