ini adalah artikel beberapa tahun lalu. sekedar untuk pengingat kembali.
Baru saja dua pesawat tempur Israel membombardir kawasan perbatasan Rafah, Gaza. Imad Abdullah, seorang warga Mesir yang hanya berjarak 400-an meter dari perbatasan Gaza, membisiki saya. “Lihatlah, kami hanya kecipratan suara bising bom, yang sesekali mungkin saja akan menerjang polisi dan warga Mesir. Sementara saudara-saudara kami di Gaza, mendapatkan semuanya.” Imad menunjuk ratusan truk besar pengangkut bantuan dari berbagai negara yang mengantre di perbatasan Rafah, menunggu giliran masuk Gaza. “Semua mata dunia mengarah ke Gaza, sedangkan kami tidak mendapat apa-apa,” kata Imad lagi. Dari atap gedung sekolah di perbatasan Mesir saya memang bisa menyaksikan, kondisi bangunan-bangunan di Rafah, Gaza, jauh lebih mentereng ketimbang di Rafah, Mesir. “Mungkin wilayahmu harus dibombardir dulu,” candaan saya tak membuat Imad tertawa.
Lebih sepekan kemudian, saya dan kameramen Yon Helfi mendapat ijin masuk Gaza. Di kota Rafah, kami diajak keliling seorang polisi intel Hamas untuk menyaksikan kehancuran dampak pemboman. Seluruh bangunan milik pemerintahan Hamas luluh lantak, juga beberapa masjid, termasuk masjid terbesar di Rafah, Al-Abror. Banyak juga rumah warga yang dituding Israel memiliki terowongan rahasia, rata tanah. Namun sepanjang perjalanan dari Rafah ke GazaCity yang berjarak sekitar 30 kilometer, berkali-kali saya dan Yon gantian bertanya, “Mana bekas perangnya?” Warga beraktivitas seperti biasa, tak ada kepedihan, seperti tak pernah ada agresi yang merenggut lebih 1.300 nyawa.
Di Khan Yunis, memang ada beberapa bangunan dan lahan pertanian yang porak poranda. Tapi sebagian besar masih ajeg. “Boleh jadi karena saya hanya melintas, tak masuk ke pedalamannya,” saya mencoba meyakinkan diri. Di kiri-kanan jalan juga terbentang berhektar-hektar lahan pertanian nan hijau, dengan beragam palawija dan buah-buahan. Benar-benar di luar dugaan saya, berbeda sekali dengan kawasan Arish, Sinai, Mesir, yang berhampar-hampar gurun tandus belaka. Padahal dua kawasan ini bertetangga. Ratusan orang sedang antre gas ukuran 12 kilogram di sebuah agen elpiji. Saya bisiki, Yon tertawa, “Di Tanah Air tak ada perang pun banyak yang antre gas.”
Berkisah tentang Gaza kepada anggota Lemka
MemasukiGazaCity, waktu menjelang magrib. Hiruk pikuk kota seperti di Jakarta saat jam pulang kerja. ”Bukankah perang baru tiga hari usai?” Bangunan-bangunan di pusat pemerintahan Jalur Gaza ini tertata rapi. Kantor-kantor pemerintahan memang hancur lebur, mulai kantor polisi, kementrian, hingga gedung parlemen. Juga rumah-rumah milik mereka yang dituding Israel sebagai tokoh, pejuang, atau simpatisan Hamas. “Israel memang bernafsu melumpuhkan Hamas,” kata Syekh Fathi, warga Gaza simpatisan Hamas. Bangunan lainnya tetap berdiri kokoh. Rumah warga Gaza berbentuk persegi tanpa atap genting, seperti umumnya rumah di wilayah Timur Tengah. Tidak banyak yang megah seperti di Pondok Indah atau Kelapa Gading, memang, tapi tidak ada yang sekumuh rumah di pinggiran kali Ciliwung. Sebagian warga mendiami rumah susun, terutama mereka yang selama ini mendiami kamp-kamp pengungsian, korban agresi Israel yang – saya tak tahu — sudah berapa kali menggempur jalur Gaza, sejak pendirian Israel 60 tahun lalu.
Esok paginya saya menyambangi kawasan Jabaliya, khususnya di kawasan yang berdekatan dengan Israel. Mata saya terbelalak. Sejauh memandang, kehancuran nampak di segala arah. Rumah-rumah yang baru dibangun, dan sebagian besar bertingkat dua atau lebih, tinggal puing-puing. Persis, seperti di kawasan Khiyam dan Bint Jbeil, Lebanon Selatan, pasca 34 hari konflik Hizbullah-Israel dua setengah tahun lalu. Jabaliya terletak paling ujung utara Jalur Gaza, yang sebelah utara dan timurnya diapit wilayah Israel, dan bagian baratnya berbatasan dengan laut Mediterania. Menurut Syekh Fathi, Jabaliya menjadi front terdepan perlawanan Hamas, dan di sini dua tentara Israel tewas. Israel memusnahkan semua rumah yang mungkin mereka anggap sebagai tempat persembunyian para sniper Hamas. Di sinilah petinggi Hamas, Nizar Abdul Kader Mohammed Rayyan, dibom bersama empat isteri dan sebelas anaknya. Ladang-ladang pertanian yang siap panen juga dilindas tank-tank Merkava yang melintas. Mungkin, Israel menganggap lahan perkebunan ini menjadi tempat peluncuran roket-roket Hamas yang mengarah ke Israel selatan.
Jaringan listrik hancur, warga juga kekurangan air bersih karena pusat perusahaan air minumnya dirudal. Mereka mengutuk Israel, tapi tidak meratap sedikitpun pada warga asing yang datang, termasuk wartawan. Lagi-lagi, persis warga Lebanon selatan. “Apa yang Anda butuhkan?” Saya tanya Abu Muhammad, warga Jabaliya yang tengah mengais-ais pakaian dari puing-puing rumahnya. “Kami muak pada Israel. Hentikan perang, beri kami kemerdekaan seperti warga Israel!”
Bantuan dari berbagai pelosok dunia, termasuk Indonesia, terus mengalir ke Jalur Gaza. Imad warga Rafah Mesir benar, akibat konflik, Jalur Gaza kerap menjadi pusat perhatian dunia. Proyek-proyek pembangunan menjamur berstempel lembaga resmi internasional maupun LSM. Di Gaza City saja misalnya, terdapat 36 sekolah yang dibangun United Nation for Relief and Works Agency (UNRWA), belum lagi di kota-kota lain. Ratusan Masytal, atau bangunan-bangunan bertutup plastik tempat pembibitan tanaman yang menghampar sepanjang perbatasan Rafah hingga Jabaliya, juga dibangun atas bantuan lembaga-lembaga asing. Tentu saja perumahan warga korban agresi dan pendudukan, dibangun dari donor asing, di samping bantuan dari pemerintahan Hamas.
Tapi bukan semua itu yang dibutuhkan warga Jalur Gaza seperti Abu Muhammad. “Sebelum ada kedamaian, sebelum kami merdeka, semua bantuan itu percuma. Rumah kami bisa hancur lagi, dibangun lagi, hancur lagi, selama masih ada agresi dan pendudukan oleh Israel.” Abu Muhammad meyakinkan saya, kalau Palestina sudah merdeka, tidak ada lagi blokade dan isolasi dari dunia luar, bangsanya pasti bisa mandiri, dan boleh jadi akan lebih hebat dari Israel dan negara-negara Arab umumnya. “Nahnu sya’b jabbarin (kami bangsa yang tangguh),” kata Abu Muhammad.
Ia berterimakasih atas simpati dan bantuan bangsa Indonesia selama agresi Israel berlangsung. Tapi lagi-lagi Abu Muhammad menegaskan, simpati dan bantuan tidak ada artinya selama Palestina tidak merdeka, selama lembaga seperti PBB “takluk” pada Israel, selama pemimpin negara Arab kerap berbeda pendapat soal penyelesaian konflik, selama isu Palestina hanya jadi “komoditas” kampanye belaka. “Warga Palestina hanya butuh merdeka!”
Mauluddin Anwar Ditulis untuk Blog Liputan 6
Oleh :
H. Awan Mauluddin Anwar, S.Ag
(mauluddina@yahoo.com)
ini adalah oleh-oleh perjalanan Mauluddin Anwar, Produser Liputat6 SCTV yang juga salah seorang pengurus Lemka, dalam tugas meliput serangan Israel ke Jalur Gaza Palestina beberapa waktu yang lalu.
Apabila Artikel atau info dalam blog ini baik dan bermanfaat bagi anda, harap disebarkan